Menjaga Kesehatan Mental di Era Pandemi ? Yuk Bisa Yuk! Oleh Emia Sari Banjarnahor

 Masalah kesehatan jiwa telah menjadi masalah kesehatan yang belum  terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun  nasional. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta  penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan  lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. 

Terlebih di masa pandemi COVID-19, permasalahan kesehatan jiwa akan  semakin berat untuk diselesaikan. Dampak dari pandemi COVID-19 ini tidak  hanya terhadap kesehatan fisik saja, namun juga berdampak terhadap kesehatan  jiwa dari jutaan orang, baik yang terpapar langsung oleh virus maupun pada orang  yang tidak terpapar. 

Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Sebanyak  4.255.268 kasus positif dan 143.796 korban meninggal akibat virus corona per 26  November 2021 telah terjadi di Indonesia. Semakin banyaknya korban akibat  virus ini wajar jika pemerintah memberikan perhatian khusus mulai dari  mematuhi 5M, penerapan PSBB hingga diberlakukan PPKM. 

Menurut Dr. dr. Fidinsjah, Sp.KJ.,MPH., Pandemi Covid-19 ialah  pandemic berdimensi multisector (Bio Psiko Social Spiritual) yang menyebabkan  ketakutan dan kegelisahan karena banjirnya informasi asimetris dan misleading (infodemi). Diawal pandemi, masyarakat mengalami panic buying sehingga,  banyak oknum yang memanfaatkan keadaan. Adanya pandemi mengharuskan kita  untuk melakukan isolasi baik isolasi fisik maupun isolasi psikologi. Isolasi  menyebabkan suatu respon yang nantinya mengakibatkan timbulnya implusivitas.  

Pandemi Covid-19 tidak hanya berefek pada kesehatan fisik, tetapi juga  berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Berbagai permasalahan yang  terjadi karena Covid-19 dinilai menjadi sumber stres baru bagi masyarakat.  Aktivitas seperti karantina, isolasi mandiri, dan menjaga jarak mempunyai efek 

terhadap kesehatan psikologis. Meningkatnya rasa kesepian dan berkurangnya  interaksi sosial dapat menjadi faktor risiko untuk gangguan mental seperti  skizofrenia dan depresi major. Adanya kecemasan mengenai kesahatan orang  terdekat dan adanya ketidakpastian mengenai hal yang akan terjadi kedepan dapat  meningkatkan ketakutan, kecemasan, dan depresi. Apabila kecemasan terjadi  secara terus-menerus dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan  menimbulkan gangguan serius, seperti gangguan kecemasan, stres bahkan, terikat  trauma.  

Aspek lain yang dapat memicu gangguan adalah stigma dan diskriminasi  terhadap orang yang terinfeksi dan tenaga kesehatan yang menjadi lini terdepan.  Wujud stigma dan diskriminasi yang dirasakan, yaitu menghindar dan menutup pintu saat menemui tenaga kesehatan, diusir dari tempat tinggal, dikucilkan  bahkan, dilarang menggunakan fasilitas umum. Marsyah (2020) berpendapat,  banyak masyarakat merasa tertekan dari berbagai aspek, misal adanya rasa takut  dan cemas jika mengunjungi dokter atupun dokter gigi di masa pandemi karena  takut tertular SARS-CoV-2 dari kunjungan tersebut.  

Menurut Rosyanti dan Hadi (2020), bagi tenaga kesahatan, penggunaan  APD pun dapat menjadi sumber stres. Penggunaan APD baik yang memadai  ataupun yang tidak memadai sama-sama memiliki risiko terinfeksi. Tenaga  kesehatan khawatir dirinya dapat terinfeksi SARS-CoV-2, khawatir dapat  menularkan ke orang-orang yang berada di sekitar area perawatan pasien COVID 

19, khawatir menularkan kepada keluarganya, dan khawatir sesama tenaga  kesehatan terjangkit virus COVID-19. 

Selain itu, resesi ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini dapat  memperbesar risiko bunuh diri terkait kasus PHK, pengangguran, dan tekanan  ekonomi masyarakat. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, per 18 Februari  2021 mencatat 17,8 persen perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja  (PHK) selama pandemi Covid-19. Selain itu, 25,6 persen perusahaan merumahkan  pekerjanya, dan 10 persen perusahaan melakukan keduanya. Rasa tidak pasti,  putus asa, dan tidak berharga memicu terjadinya tindakan bunuh diri. Ada pula  permasalahan mental datang dari permasalahan perekonomian yang tidak stabil 

sehingga, membawa rasa cemas dan takut secara terus menurus akan  keberlangsungan hidup ditengah pandemi Covid-19 sehingga, keseluruhan  masalah awal yang dialami oleh sebagian besar masyarakat biasa maupun tenaga  kesehatan ialah perasaan cemas yang dikemudian waktu dapat termanifestasi  menjadi berbagai macam gangguan kesehatan mental.  

Setiap individu harus memiliki sikap resilien. Resilien adalah sikap  individu menghadapi situasi sulit sehingga, memaksanya untuk mengatasinya dan  beradaptasi dengannya. Sikap ini akan memberikan berbagai pengalaman baru  kepada individu terkait dengan keterampilan hidup, seperti komunikasi, sikap  realistis dalam merencanakan hidup, dan kemampuan memilih jalan yang tepat  bagi hidupnya (Rojas, 2015). Apabila individu memiliki sikap resilien maka,  individu tersebut dapat menjadikan situasi yang sulit dalam kehidupan sebagai  sarana mengembangkan dirinya menjadi lebih baik lagi (Utami dan Helmi, 2017). 

Pandemi yang terjadi tentuya memberi dampak perubahan hidup bagi  masyarakat dan perubahan status kesehatan mental merupakan hal yang tak  mungkin dipungkiri. Kemampuan adaptasi dan pengelolaan stres individu yang  tidak dapat disamakan antara satu orang dengan yang lain menyebabkan perlunya  membiasakan diri untuk lebih memerhatikan kesehatan mental diri sendiri dan  orang terdekat kita serta tidak menganggap tabu upaya mencari pertolongan dari  professional di bidang kesehatan mental. 

Imam Hanggautomo mengatakan kaitan antara kesehatan mental dengan  imun itu sangat kuat. Kesehatan mental itu tentang kesejahteraan emosional dan  nyaman pada diri kita sendiri. Maka apabila ini baik, otomatis imun tubuh juga  akan baik. Sebagai pemerhati kesehatan mental, Imam menyebut ada beberapa  kiat yang dapat menjaga kesehatan mental, yakni olahraga teratur, memiliki orang  yang dapat dipercaya, bersyukur, komunikasi yang baik, meluangkan waktu  istirahat, pola makan yang baik, dan vitamin. Mengapa memiliki orang yang dapat  dipercaya masuk kedalam kiat menjaga kesehatan mental ? Tujuannya untuk  bercerita atau mengeluarkan keluh kesah. Jika tidak memiliki orang yang  dianggap dapat dipercaya untuk mencurahkan isi hati dapat menggunakan bantuan  profesional seperti psikolog.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?