Wiji Thukul: Perjalanan Hidup
Tubuhnya terlihat ceking, pakaiannya lusuh dan kusut seperti tak mengenal sabun dan setrika. Akan tetapi kata-katanya yang diracik lewat karya sastra mampu menggetarkan jiwa dan membuat pemerintahan saat itu dilanda ketakutan luar biasa. Widji Widodo, atau yang lebih dikenal dengan nama Widji Thukul kita kenali sebagai sastrawan sekaligus hak aktivis hak asasi manusia yang melawan dengan keras penindasan rezim Order Baru.
Wiji Thukul, lahir di Kampung Sorogenen, Solo dalam lingkungan para tukang becak dan buruh. Seperti mayoritas para tetangganya, Ayah Thukul berprofesi sebagai penarik becak, dan ibunya terkadang menjajakan ayam bumbu. Lahir dan tumbuh dalam lingkungan kaum marjinal, menjadi salah satu inspirasi Tukul dalam berkarya. Ia merekam realitas sosial itu menggunakan caranya sendiri, kemudian menumpahkannya dalam bentuk puisi.
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Thukul sudah mulai menulis puisi dan ketika menginjak bangku SMP, ia mulai tertarik untuk menekuni dunia teater. Ia pun meneruskan sekolahnya ke Sekolah Menengah Karawitan jurusan tari, namun kemudian memutuskan untuk berhenti karena keluarganya dilanda kesulitan keuangan. Sebagai anak sulung dari 3 bersaudara, Thukul merasa memiliki tanggung jawab terhadap keluarga terutama kedua adiknya. Setelah berhenti sekolah ia berjualan koran dan menjadi buruh serabutan. Berhenti dari sekolah bukan berarti ia bergenti belajar. Pengetahuan terus masuk ke dalam otaknya melalui pengamatannya terhadap lingkungan sekitar dan kegemarannya membaca.
Melalui teman sekolahnya, ia kemudian bergabung dalam sebuah kelompok teater bernama Teater Jagalan Tengah (Jagat). Bersama rekan-rekannya di Teater Jagat itulah ia pernah keluar masuk kampung tak hanya wilayah Solo namun juga hingga ke Yogyakarta, Klaten dan Surabaya untuk mengamen puisi dengan iring-iringan musik seperti rebana, gong, suling, kentongan gitar dan sebagainya.
Pada tahun 1989, Thukul menikah Siti Dyah Surijah atau kita kenal dengan sebutan Thukul dan Sipon bertemu di Sanggar Teater Jagat, Solo tempat mereka sama-sama aktif berkegiatan seni, dan keduanya kerap tampil bersama dalam sebuah lakon teater. Melalui pernikahannya dengan Sipon, ia dikaruniai dua orang anak yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Thukul dan Sipon yang sama-sama berasal dari keluarga marjinal, tinggal di kampung Kalangan yang terkenal langganan banjir bila musim hujan tiba dan lingkungannya padat oleh rumah-rumah petak sempit yang berjejal sehingga terkesan kumuh.
Thukul bersama temannya Samsar Siahaan memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman, bernama Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Saat itu, Jaker tak hanya beranggotakan empat seniman, akan tetapi terdapat pula empat nama anggota ingi Persatuan Rakyat Demokratik, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Rakyat Demokratik. Sejak awal, Jaker sudah berkomitmen tak akan bergerak di bidang politik. Akan tetapi seiring makin bergejolaknya politik di Indonesia, akhirnya Thukul pun memilih bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik dan terlibat dalam politik praktis dan menyisakan rasa kecewa di benak rekan-rekannya.
Ketika rekan-rekan senimannya masih diliputi kegamangan untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul lantang berseru bahwa seniman adalah korban dari sistem antidemokrasi dan wajib merebut kemerdekaannya sendiri.
Tak sedikit yang menyayangkan bergabungnya Thukul dalam politik praktis, termasuk guru Thukul di Teater Jagat. Meurut sang guru, seniman tak seharusnya terlibat politik praktis karena karena dengan begitu akan membahayakan keselamatan diri Thukul sendiri.
Namun, Thukul sudah siap menanggung segala risikonya. Baginya, sastra merupakan salah satu alat perjuangan. Meski tubuhnya kurus kerempeng, keberanian Thukul bisa diumpamakan dengan keberanian seekor singa. Ia menjadi penggerak demokrasi besar di Kedungomba, Sritex. Selalu berada di garda barisan terdepan, Thukul menjadi serangan aparat yang secara membabi-buta menyerbu para demonstran. Thukul dipukuli, disiksa hingga tuli dan nyaris buta, meninggalkan cacat di mata kanannya. Semenjak saat itu, Thukul dicurigai sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dianggap sebagai penggerak rakyat kecil menyuarakan protes mereka. Ia pun menjadi salah satu aktivis yang paling diincar saat itu.
Puncak kerusuhan terjadi pada 27 Juli 1996. PRD yang juga didirikan Thukul dibubarkan secara paksa dan anggotanya menjadi buronan. Demi menyelamatkan diri, Thukul pun harus rela meninggalkan anak serta istri dengan berpindah dari satu kota ke kota lain, dan dari satu persembunyian ke persembunyian lain. Dalam persembunyiannya, Thukul masih sempat menulis Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa!
Namun, ketika akhirnya pemerintahan Soeharto berhasil dilengserkan, ia tak juga keluar dari persembunyiannya dan hingga kini tak tentu di mana rimbanya.
Ciri Khas Karya Wiji Thukul
Puisi Wiji Thukul, oleh kalangan intelek seringkali dianggap mendobrak nilai-nilai sastra. Akan tetapi ketika seni diartikan sebagai suatu hal yang indah, ia memberikan penafsiran yang berbeda.
Hidup dalam keadaan ekonomi yang serba sulit, membuatnya merasa tak masuk akal jika menuliskan puisi dengan kata-kata yang indah dan 'nyastra'. Bagaimana mungkin dari got, pemukiman kumuh, dan penderitaan yang sehari-hari dilihatnya bisa ditransformasikan ke dalam suatu karya seni yang romantis dan mendayu-dayu.
Thukul adalah seorang penyair yang menjadikan puisi sebagai sarana ekspresi yang menyuarakan isi hati serta mampu menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakannya secara realistis. Diksi yang dipilihnya pun merupakan kata-kata sederhana yang tak hanya bisa dimengerti oleh kaum intelek, namun juga dipahami oleh semua kalangan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan.
Sejalan dengan kesederhanaan bahasa yang digunakan, dalam puisi-puisinya, Thukul mengupas kehidupan rakyat kecil yang merasakan pahit kemiskinan dan penderitaan di bawah kepemimpinan rezim otoriter Order Baru. Tak dinyana, penggalan-penggalan puisi Thukul masih digaungkan sampai sekarang oleh kaum buruh dan kelompok marjinal yang menyuarakan aspirasi mereka.
(Sumber: Kumparan.com)
Komentar
Posting Komentar