RESUME PEMBEKALAN YOUTH FOR CHANGE "CRITICAL THINKING"

   


 


 Youth For Change adalah salah satu program divisi Jaringan. Pembekalan dilakukan pada Kamis, 8 Oktober 2020, pukul 19.06 WIB. Moderator iaah Andreas Panjaitan (Ekonomi Pembangunan 2016). Pemateri ialah Jessica Pradipta (Akuntansi 2016). Kegiatan dibuka dengan doa bersama dan sapaan dari MC. Selanjutnya perkenalan oleh MC dan Pemateri. Pada sesi pertama pemateri menyampaikan latar belakang mengapa peserta perlu berpikir kritis? yang dimulai dengan pemaparan pengertian kritis.

Kritis (KBBI) berarti bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisisan. Sementara itu dasar kita pemuda Kristen perlu berpikir kritis adalah kasih atau berbelas kasih. Ayat alkitab yang menjadi dasarnya adalah Filipi 1 : 9 dan hukum yang utama.pemateri juga menyampaikan bahwa esensi berpikir kritis bukan supaya jadi tahu segala hal, melainkan jadi ingin tahu. Ingin tahu tidak sama dengan kepo. Hal ini yang menjadi salah satu latar belakang pentingnya berpikir kritis. Pemateri menambahkan bahwa semua keputusan seharusnya memiliki landasan. Begitu juga dengan berpikir kritis, yaitu menyangkut kepekaan kita.

Ingin tahu itu curious, care. Menembus batas sudut pandang (empati) yaitu belas kasihan. Pemateri juga menjelaskan bahwa dalam berpikir kritis perlu  menantang dan menguji bias. “Dalam berpikir kritis kita perlu menempatkan diri kita sebagai orang yang berempati kepada orang lain, mau ikut merasakan yang orang lain rasakan. That’s the point of love (berbelas kasih)”, ungkap pemateri.

Selanjutnya dalam critikal thinking, perlu adanya berpikir kritis terhadap kepemimpinan yang telah terbentuk. Pemateri juga menyampaikan ada beberapa kesalahan dalam kepemimpinan :

1.     Yakin dan meneruskan tanpa pemahaman

2.     Melaksanakan tanpa pertimbangan

3.     Bertahan dalam perasaan terjebak

Selanjutnya pemateri juga menyampaikan bagaimana cara memandang sesuatu dengan konsep enam topi berpikir yang dirancang oleh psikolog Edward Bono pada tahun 1985. Konsep berpikir ini lebih dikenal dengan nama “Six Thingking Hat”. Melalui konsep ini kita diajari untuk memahami sebuah budaya atau nilai dalam organisasi sehingga kita bisa menyesuaikan topi warna apa perlu dipakai.


                                                 Gambar konsep berpikir six thingking hat

Selanjutnya pemateri menjelaskan bahwa berpikir kritis dapat membentuk jiwa kepemimpinana seseorang. Seorang pemimpin dalam berpikir kritis mampu melihat dari berbagai sudut pandang; sudut pandang yang dilayani dan yang melayani (kita, aku, kamu,dsbg) dengan mengikutsertakan rada empati dalam memahami orang lain.

 

Pemateri juga menyampaikan bahwa dalam kepemimpinan yang  akan terbentuk,perlu adanya analisis SWOT dan SMART+ER agar visi dan misi menyasar pada segmentasi yang tepat. Hal ini bisa dilakukan dengan analisis alat SCAMPER . SCAMPER adalah singkatan dari Substitute, Combine, Adapt, Modify,Put to another use, Eleminate, Reverse. Penjelasan dari SCAMPER:

a.     Substitute adalah mengganti faktor  .

b.     Combine adalah cara untuk mencampur atau mengolaborasi sumber daya

c.     Adapt adalah upaya untuk menyusaikan dengan keadaan

d.     Modify adalah usaha untuk menambah,mengubah dan menegaskan sesuatu.

e.      Put to another use adalah usaha yang dilakukan untuk menambah fungsi dari sesuatu.

f.      Eleminate adalah usaha untuk  memangkas yang tidak perlu

g.     Reverse adalah usaha untuk memutar balik ke cara yang lama apabila ada sesuatu yg lebih baik dilakukan ketika cara lama lebih efektif.

  

 Dalam penerapan  SCAMPER, semua elemen tidak mutlak harus dilakukan/diterapkan, akan tetapi dilaksanakan tergantung kebutuhan—elemen mana yang perlu untuk diterapkan. Pemaparan materi ditutup dengan sebuah ungkapan dari pemateri. Beliau mengungkapkan,      Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantan, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”.

 

Seusai pemaparan materi, MC membuka sesi tanya jawab dengan peserta pembekalan. Pertanyaan pertama datang dari Aris (Manajemen 2018) mengenai cara kita menempatkan critical thingking dalam isu omnibus Law yang saat ini sedang ramai dibahas.

 “biasanya  kita merasa kritis setelah melihat bias, melihat pro dan kontra, berdasarkan IG banyak yang pro dan banyak yang kintra, dan ada juga yang pro, kita harus melihat mengapa ada orang yang pro terhadap itu dan sebaliknya. Saat melihat asumsi kita harus berpikir bagaimana dan kenapa dan lebih baik kita menguji sendiri”, jawab pemateri.

 

Pertanyaan berikutnya datang dari Oktavia Veronika Sinaga ( Ekonomi Pembangunan 2019), “menurut kutipan Najwa Shihab, Orang kritis belum tentu kreatif dan orang kreatif sudah pasti kritis. Menurut kakak, apa analisis kontekstual diantara keduanya itu kak? Lalu berikan sebuah contoh studi kasus agar tampak pembedanya dimana, dan analisis pembeda analytical thinking dan critical thinking apa ?”.

“Kritis kita tahu artinya tidak mudah percaya dan menganilisis dengan tajam, sementara kreatif berarti memiliki daya cipta , kritis tidak sama dengan kreatif, kritis itu menganalisis tajam dan kreatif itu mempunyai daya cipta, contohnya bapak – bapak yang saya lihat di warung kopi yang sangat kritis namun tidak memiliki daya cipta. Kreatif sudah pasti kritis , kenapa seseorang mampu menciptakan sesuatu, tentu karena ia sudah melihat ada sesuatu yang kurang, ia sudah berpikir kritis terlebih dahulu. Kritis itu tidak cukup, kritis harus dilanjutkan dengan kreatif , karena kritis masih sebatas berpikir. Crtical dan analytical , analytical itu adalah menganilisa dengan tajam jadi analytical adalah bagian dari critical, jawab pemateri.

 

Pertanyaan selanjutnya disusul oleh David Rumahorbo (Ekonomi Pembangunan 2017) mengenai alasan yang mengharuskan kita untuk berpikir kritis dan kaitannya dengan lahirnya critical thingking.

 

 “dasar berpikir kritis adalah Filipi 1 : 9 dan hukum yang terutama, alasan utama kita harus berpikir kritis adalah belas kasih , utamanya berpikir kritis itu adalah selain berempati juga berangkat dari sudut padang kita ikut merasakan orang lain. Contoh ketika kita bertemu dengan orang yang menderita autis, dari sudut pandang lain aku merasakan sulitnya merawat orang autis, padahal tidak pernah merasakan merawat orang autis dan aku membuat proyek social pada mereka. Jadi maksudnya dari Filipi 1: 9 adalah berbelas kasih yang tidak cinta buta. Maksudnya percaya dan tanpa reasoning yg jelas. Kita butuh cinta yang sadar, yang melibatkan akal budi dalam mengasihi. Selain berpikir kritis juga kita perlu kreatif, berpikir kritis harus dilanjutkan dengan berbuat sesuatu. Berpikir kritis tanpa bertindak, sama dengan terang dalam gantang. Pemikiran radikal dan kritis, kalau radikal belum diketahui dari hubungannya dengan kritis, namun menurut saya apabila berangkat dari radical together, berarti sesuatu yang menembus batas, independen, tidak terikat hukum, dalam artian melawan dengan sistem yang sudah terbentuk namun berani menciptakan gerakan yang ada. Berpikir radikal menurut pemateri cenderung kreatif tapi berpikir kritis lebih banyak dan lebih luas tujuan akhirnya. Dan orang yang berpikir radikal dlam arti ambisisus yang postif dimana mereka harus ada aksi. Sementara pemikiran kritis cenderung lebih netral dlam memahami fenomena”, ungkap pemateri.

 

Pertanyaan selanjutnya berasal dari Leonardo Manullang (Manajemen 2019), “berpikir kritis punya hambatan, salah satunya egosentris, dimana seseorang yang memilikisifat ini  merasa dirinya itu benar dan mempertahankan keyakinan sesuai kepentingannya, pertanyaannya bagaimana caranya agar kita tidak mengandalkan ego dan kepentingan kita dalam berpikir kritis, karena jika berhadapan dengan orang lain akan cenderung mencari hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan bukan kebenaran itu sendiri”

“ kalau menurut pemikiran saya, itulah sebabnya dibentuk Bono’s Thinking Hat karena saat kita mengidentifkasi kita tidak tahu itu emosi semata atau itu adalah fakta. Kalau egosentris itu muncul karena perasaan dilaksanaan sebagai topi putih, dia mengira itu adalah topi putih ternyata itu hanyalah topi merah, yaitu topi yang menndakan emosi semata. Karena inti dari beroikir krtitis itu sadar, bukan egosentris (tidak sadar kalau dia merasa yang dia yakini itu benar).  Nah ketika tidak dalam perdebatan, kita harus sadar apakah kita dalam satu kubu, apakah sebetulnya sedang memikirkan dalam satu kubu saja. Kalau memanag belum sadar itulah gunanya alat dan cara supaya sadar sedang dilanda egosentris, yaitu dari teman-teman yang diluar sudut pandang, teman bisa menjadi cermin bagi diri kita”, jawab pemateri.

Pembekalan diakhiri dengan pemberian kuis oleh pemateri. Kuis dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi quiziz yang berisi pertanyaan mengenai materi yang telah dijelaskan. Dalam pembekalan ini, Campus Concern memberikan penghargaan untuk peserta dengan kategori peserta dengan pertanyaan terkritis dan pemenang kuis. Adapun kategori pertanyaan terkritis dimenangkan oleh Oktavia Veronika Sinaga (Ekonomi Pembangunan 2019) dan kuis dimenagkan oleh  Surya Tan Benia (Manajemen 2019).

Selanjutnya MC mengambil alih forum dan menutup webinar dengan berdoa bersama. Adapun sasaran kuantitas yang diharapkan adalah 38 AKK, dan yang bergabung dalam webinar sebanyak 41 AKK (12 pengurus CC & 29 partisipan). Divisi Jaringan berterimakasih kepada setiap orang yang terlibat dalam pembekalan ini dan berharap semakin banyak AKK yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan Campus Concern FEB USU selanjutnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?