Menjadi Kreator Kreatif Melalui Media Sosial - Clara (Akt 2018)
Pada saat ini, masyarakat tidak
dapat lepas dari yang namanya media massa. Hal ini dikarenakan media tidak lagi
hanya sebagai alat dalam komunikasi tetapi dianggap sebagai sumber kebenaran.
Ditambah lagi media massa saat ini bermetamorfosis menjadi media digital dimana
berhubungan dengan internet dan smartphone
yang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini, masyarakat
terkhususnya kita sebagai mahasiswa, kaum intelektual, konsumen media perlu melek dalam pembuatan dan mengakses media
tersebut. Mengapa hal ini perlu dilakukan?
Dalam media terdapat konten atau
informasi yang tersedia. Menurut wikipedia, salah satu jenis dari konten yang telah dibuat pengguna
situs-situs online atau
jejaring sosial yaitu seperti Facebook, Twitter, Instagram, di mana para pengguna media dapat berinteraksi dengan
orang lain, menulis atau menyampaikan sebuah pesan atau chatting sesuai dengan konten yang
disediakan dalam media sosial tersebut. Youtube sendiri berusaha untuk mengajak para penikmat konten yang
ada pada media mereka untuk tidak hanya sekadar menjadi penikmat konten saja
tetapi juga membuat hal yang sama seperti apa yang telah mereka nikmati
tersebut.Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi, konten-konten dalam media tersebut dapat mempengaruhi tatanan sosial
masyarakat. Konten-konten yang terdapat di media pun dapat menjadikan seseorang
buas dalam berteknologi, seperti pornografi, SARA, hoaks,
perjudian, terorisme/radikalisme, kekerasan pada anak, sarana bullying, pesan provokasi dan ujaran
kebencian hingga pelanggaran HAKI dan penyalahgunaan obat terlarang.
Dilansir dari kominfo.go.id, hasil penelitian dari UNESCO pada
tahun 2018 menyimpulkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia aktif di media sosial
seperti Facebook yang memiliki 3,3 juta pengguna, kemudian WhatsApp dengan
jumlah 2,9 juta pengguna dan lain lain. Menurut Direktur Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken
Widiastuti, tingginya angka penggunaan media
sosial oleh masyarakat Indonesia, membuat risiko penyebaran konten negatif juga amat besar. Niken juga menyebutkan,
bahwa masyarakat menggunakan pola komunikasi 10 to 90 dalam bermedia sosial.
Hanya 10 persen masyarakat yang memproduksi informasi, sedangkan 90 persen
cenderung mendistribusikannya. Selain
itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, sepanjang tahun
2019 Kementerian Kominfo menerima lebih dari 430 ribu aduan masyarakat terkait
konten bermuatan negatif yang diterima melalui layanan Aduan Konten.
Dari data diatas, kita bisa melihat bahwa masih banyak
yang membuat konten-konten negatif di media dan bahkan banyak juga yang
mendistribusikannya tanpa melakukan penyaringan konten tersebut. Padahal, melalui media sosial kita
bisa mengambil peluang dengan membuat konten yang positif yang bahkan membawa
perubahan model bisnis baru. Lalu, bagaimana pembuatan konten yang baik di
media sosial? Dalam The Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) terdapat definisi atas tiga kelompok pusat untuk
konten-konten media yang dibuat oleh pengguna situs online:
1. Persyaratan publikasi:
Konten-konten media yang ada bisa dibuat oleh pengguna dan tidak pernah
dipublikasikan secara online atau
muncul pada tempat lain, fokus utama berpusat pada hasil pekerjaan yang
diterbitkan dalam beberapa konteks yang ada, baik itu pada sebuah situs yang
dapat dengan mudahnya diakses oleh publik atau pada halaman di situs jejaring sosial sekalipun yang
hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu. Cara ini merupakan solusi yang
berguna dalam melarang email,
atau pesan instan yang bersifat dua arah dan sejenisnya.
2. Upaya kreatif:
Dikategorikan ke dalam sebuah penciptaan pekerjaan atau pengadaptasian karya
yang telah ada guna membangun sesuatu yang sifatnya baru. Konten media sendiri mengatur
para pengguna yang ingin secara kolaboratif memeriksa dan memperbaiki suatu
situs yang telah ada tersebut sesuai denan sifat elemen kolaboratif yang telah
mereka miliki. Adanya bentuk kegiatan menyalin sebagian dari acara televisi yang telah
ditayangkan lalu kemudian mengunggahnya ke situs video online, contohnya seperti suatu kegiatan yang sering terlihat
di konten media seperti youtube tidak
akan dianggap sebagai sebuah konten media. Apabila mengunggah foto,
mengungkapkan pemikiran lewat sebuah konten status dalam sebuah website blog,
serta menghasilkan music video baru,
hal tersebut dapat dikatakan sebagai pengguna konten media. Namun, untuk
mendefinisikan jumlah dari minimum usaha kreatif sangatlah sulit dan itu semua
bergantung pada seperti apa konteksnya.
3. Penciptaan di luar rutinitas profesional
dan praktik: Isi konten media dari buatan pengguna
online umumnya dibuat di luar dari rutinitas secara profesional dan praktik.
Tidak memiliki suatu bentuk kelembagaan atau konteks pasar komersial. Pada
kasus ekstrem, isi daripada konten media buatan pengguna online dapat
diproduksi oleh non-profesional tanpa mengharapkan keuntungan atau remunerasi.
Terdapat faktor motivasi yang meliputi
didalamnya: adanya sebuah hubungan dengan rekan-rekan, pencapaian dalam tingkat
popularitas tertentu, ketenaran, dan keinginan untuk mengekspresikan diri.
“Namanya udah ketagihan internet
Produktifitas pun kepepet.(Saykoji – Online)”
Menyedihkan ketika kita generasi
milenial, yang hidup di era digital namun tidak dapat mengendalikan diri dalam
hal media sosial. Tidak dapat menggunakan internet untuk mendukung
produktifitas kita. Tidak hanya menjadi pengguna partisipatif namun meraup keuntungan
dari peluang interaktif, terutama internet yang menjadikan sebuah konten
bersifat independen. Hendaknya saat ini, dalam kondisi dunia yang sedang tidak
baik – baik saja, kita bisa mendapat pengetahuan baru, hobi baru dari internet
yang kita miliki saat ini.
Komentar
Posting Komentar