TERSERAH! Gpp. - Ryan (Akt 2018)



“Anda bebas memilih tapi tak bebas dari konsekuensi atas pilihan tersebut”

Mahasiswa adalah masyarakat di dalam sebuah miniatur negara bernama kampus. Layaknya sebuah negara, kita memiliki pemerintahan, dalam hal ini bernama Pemerintahan Mahasiswa: Pemerintahan mahasiswa universitas dan pemerintahan mahasiswa fakultas. PEMA USU yang dipimpin oleh presiden mahasiswa dan PEMA Fakultas yang dipimpin oleh gubernur, keduanya dipilih secara demokratis dengan adanya perhelatan setahun sekali bernama PEMIRA yang oleh KPU FEB USU mendefinisikannya sebagai pesta demokrasi kampus yang menjadi miniatur dari pesta demokrasi bangsa. Mereka yang terpilih memegang pucuk pimpinan memegang amanah dari masyarakat kampus untuk memajukan kampus dan memantik perubahan revolusioner melalui kebijakan yang akan dilaksanakan. Mereka akan diberikan kewenangan dan kuasa selama satu tahun periode-kendati dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan-memerintah, menentukan arah nasib saya dan kamu, kita, masyarakat kampus: mahasiswa.

Saya pribadi tidak pernah berhenti berharap akan adanya gebrakan bijak dari orang-orang “terpilih” itu yang membangunkan  kita dari tidur panjang kita-yang hanya peduli kepada persoalan akademis dan tidak peduli akan lingkungan terkhusus kampus-mengembalikan mahasiswa kepada jati dirinya yang konon katanya adalah agen perubahan, calon pemimpin atau orang berpengaruh di bangsa ini. Saya tidak pernah berhenti berharap akan adanya sebuah pemerintahan yang benar-benar peduli atas persoalan kampus serta menjadi wadah bagi warganya untuk bersuara. Mereka (baca: PEMA) memegang peran penting dalam perubahan dan kemajuan kita. Saya yakin akan timbul pertanyaan: “Perubahan dan kemajuan kan dimulai dari diri sendiri, mengapa harus menunggu orang lain (baca: PEMA) untuk mengubah kita?” Memang benar, saya juga yakin akan hal itu, namun jika kita mau melihat lebih jauh, sekalipun kita memiliki tekad untuk bangun dari “tidur mahasiswa” itu, kekuatan atau tekad saja tidak cukup untuk mengubah kampus ini dan mahasiswanya, kita butuh roda untuk berjalan, butuh orang yang memiliki visi yang sama dan kita butuh wadah yang mendukung dan didukung regulasi agar bisa bersuara dengan lantang untuk mewujudkan perubahan itu. Kita butuh orang yang menangkap visi itu, orang yang tepat yang akan menghimpun kita warganya melakukan tindakan perubahan tersebut.

Setiap pilihan, setiap keputusan yang kita lakukan akan memberikan konsekuensi, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Dampak baik dari keputusan itu akan memberikan kepuasan, sebaliknya jika tidak, maka akan menimbulkan kekecewaan. Oleh sebab itu, sebelum memutuskan, kenali dengan baik alternatif atau pilihan yang tersedia. Tetapi ada kondisi yang sering terjadi di dalam lingkungan kita, bahwa banyak orang yang pada saat PEMIRA tidak peduli siapa yang akan mengisi jabatan pemerintahan, tetapi menjadi orang yang selalu menyalahkan pemerintahan itu karena dinilai tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Katakanlah ada seorang ibu yang berjanji untuk membelikan mainan robot kepada kedua anaknya, satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Sang ibu bertanya kepada anak laki-lakinya:”Nak, kamu mau robot yang seperti apa?” Karena terlalu sibuk bermain dengan teman-temannya, dia pun mengatakan:”Terserah ibu saja”. Kemudian sang ibu dan anak perempuannya berangkat untuk membeli mainan tersebut. Sang anak perempuan sangat menyukai mainan yang berbentuk seperti kura-kura tetapi tidak dengan anak laki-laki itu, dia suka bermain robot yang mirip dengan milik Power Rangers Mistic Force. Beberapa jam kemudian sang ibu dan anak perempuannya pulang ke rumah dan membawa mainan robot kura-kura. Si anak laki-laki tidak suka, dia terus merengek untuk mengganti mainan itu karena menurutnya sangat jelek. Semoga ilustrasi tersebut bisa menggambarkan apa yang selama ini terjadi di kampus ini. Bisa kita simpulkan bahwa saat kita memilih untuk tidak memilih dan tidak peduli atau mengatakan “Terserah kalian saja” dalam PEMIRA pun ada konsekuensi. Kita merengek dan mengeluh kepada pemerintahan mahasiswa yang padahal dari dulu kita tidka pernah peduli. Saya tidak mengatakan bahwa  kita tidak boleh mengkritisi pemerintahan, tetapi alangkah baiknya jika sedari awal, mulai dari pemilihan kita sudah mengawal, mengawasi agar tetap berada dalam track atau sesuai dengan harapan. Hal tersebut merupakan salah satu peran kita sebagai mahasiswa, peran sebagai warga negara. Pedulilah, karena pilihan yang kita buat akan menentukan nasib kita, nasib kampus kita. Saat kita menginginkan pemerintahan yang memang benar-benar pemerintahan milik agen perubahan, maka cari, lihat, pertimbangkan dan pilih orang itu, agar harapan-harapan kita untuk kampus FEB yang semakin jaya bukan hanya bualan atau mimpi di siang bolong saja.

Mahasiswa yang disebut sebagai agen perubahan, marilah dengan sungguh menjadi agen perubahan, berubahlah terlebih dahulu sebelum mengubah, sebelum membuat perubahan lingkungan dan secara khusus kampus, berubahlah dulu menjadi orang yang peduli, peduli akan persoalan kampus. Salah satu kepedulian itu adalah dengan tidak gegabah menyerahkan pilihan pucuk pimpinan kita kepada orang yang salah, bentuk kepedulian dengan tidak menyia-nyiakan hak suaramu itu hanya karena ingin rebahan manja di atas kasur dan menatap benda pemancar layar biru. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?