Resume Diskusi “Etos yang Keropos”
Diskusi “Etos yang Keropos”
merupakan program perdana dari Divisi Diskusi CC FEB USU pada Semester A.
Adapun sasaran kualitas dari program ini yaitu agar AKK mengetahui pentingnya
diskusi mahasiswa dan termotivasi untuk mengembangkan budaya diskusi. Diskusi
dilaksanakan pada hari Jumat, 06 Maret 2020 pukul 13.15 WIB di ruang GBR 113.
MC pada diskusi ini yaitu Agnes Leonisa Sinaga (Ekonomi Pembangunan angkatan 2017)
dan gitaris yaitu Handayani Gultom (Akuntansi angkatan 2018). Moderator pada
diskusi ini yaitu Dandi Darmawan Kesumah Lubis (Akuntansi angkatan 2017).
Pemateri pada diskusi ini yaitu Mutyara Sary Hasugian (Ekonomi Pembangunan
angkatan 2016) yang merupakan mantan koordinator
Divisi Diskusi Campus Concern FEB USU pada tahun 2018.
Diskusi diawali dengan nyanyian dan
bermazmur oleh MC, kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dibawakan oleh
moderator. Sesi pembukaan diskusi diawali oleh moderator pada pukul 13.30 WIB
kemudian dilanjutkan pada sesi pembahasan oleh Mutyara Sary Hasugian tepat pukul 13.35 WIB. Pemateri mengajak peserta
agar langsung berdiskusi artinya jika ada yang ingin ditanyakan atau memberikan
pendapat, peserta dapat menyampaikannya secara langsung. Pemateri berusaha
membuka pikiran AKK mengenai etos apa yang dimaksud dan mengapa etos tersebut
tidak boleh keropos. Kemudian Pemateri menanyakan apa yang sebenarnya menjadi
budaya mahasiswa. Pertanyaan ini dijawab oleh peserta diskusi yaitu Firma
Sembiring (Ekonomi Pembangunan stambuk 2017) bahwa yang menjadi etos mahasiswa
adalah berdiskusi, membaca, dan menulis. Firma juga menjelaskan bahwa etos
seorang mahasiswa bukan hanya mengisi diri melalui intelektual saja tetapi juga
memiliki kesadaran sosial yang tinggi, artinya mahasiswa juga harus kritis, analitis,
dan peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
Pemateri menjelaskan apa itu
mahasiswa. Mahasiswa berbeda dengan siswa. Sebagai seorang yang menyandang kata ‘maha’, mahasiswa
sebenarnya memiliki beban moril yang sangat berat. Mahasiswa bukan hanya sekedar
datang, belajar, mendapat nilai bagu, kerja, dan sukses. Seharusnya mahasiswa
itu bisa menjadi jembatan atau minimal membangun jembatan antara dua orang
dengan pemahaman yang berbeda dan akhirnya tersambung. Mahasiswa itu identik
dengan membaca, menulis dan berdiskusi. Berdiskusi itu tujuannya untuk menyepahamkan,
mencari solusi dan/atau saling membagikan pemikiran ataupun pendapat yang pada
akhirnya secara rasional dapat diambil sebuah hasil yang dapat mengubah
pemikiran masing-masing atau bahkan menambah pola pikir yang baru.
Sebelum berdiskusi ada baiknya kita
terlebih dahulu mengisi diri dengan membaca. Berdiskusi tanpa mengisi diri itu
berarti tidak sedang berdiskusi tapi hanya sekadar datang, mendengarkan orang lain dan secara
tidak langsung kita dapat terdoktrin.
Maka dari itu, berdiskusi tidak lepas dengan membaca dan menulis. Kemudian
pemateri bertanya kembali kepada peserta diskusi tentang mengapa mahasiswa
sekarang tidak ada lagi semangat untuk berdiskusi. Pertanyaan ini dijawab oleh
peserta diskusi yaitu Rido Sanjaya Purba (Ekonomi Pembangunan 2016) bahwa tidak
ada lagi semangat berdiskusi karena generasi Z lebih mementingkan diri sendiri
(individulisme) daripada kelompok atau orang lain. Artinya ketika mempunyai
masalah cukup menyelesaikan dengan diri sendiri, atau ketika ada sebuah
informasi cukup berdiskusi dengan diri sendiri yang pada akhirnya tidak mau
berbagi dengan orang lain dan tidak mau menyelesaikan dengan orang lain. Sikap
individualis yang berujung kepada egois.
Teguh Manurung (Akuntansi 2019) yang
menanyakan, “apakah ketika sudah berdiskusi tentang suatu masalah hanya
berhenti pada tahap tahu saja?’’. Pemateri mengatakan bahwa sebenarnya diskusi
memiliki tindak lanjut (aksi). Hal inilah yang sering kita lihat pada aksi
demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa. Mahasiswa yang melakukan pergerakan
bukan karena memliki kelebihan waktu tetapi karena mereka memiliki kepedulian
dan mengerti akan tanggung jawab serta mengerjakannya. Budaya yang tidak mau
tahu, budaya yang tidak mengerjakan sesuatu, budaya yang memilih mementingkan
diri sendiri dapat membuat etos itu menjadi keropos (hilang).
Pemateri membawa dua mahasiswa yang mengerjakan budaya mahasiswa seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu Goklas (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) dan Bung Armando (GMNI). Goklas memaparkan bahwa etos adalah pandangan hidup terhadap sebuah identitas;identitas mahasiswa. Pandangan hidup itu menjadi style mahasiswa yang penting diterapkan di kampus dan di luar kampus;membaca buku, diskusi, dan demonstrasi. Etos itu seharusnya tidak keropos. Menurut data UNESCO, Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 dari tingkat literasinya. Hal ini dikarenakan membaca buku, diskusi, dan demonstrasi tadi mulai keropos. Pertanyaannya sekarang adalah “apakah karena mahasiswanya yang keropos?’’ atau “ada hal struktural yang sengaja dibentuk supaya etos itu menjadi keropos?’’
Beliau juga mengatakan mengatakan bahwa diskusi memiliki tiga daya yaitu daya magis (suatu masalah terjadi karena takdir Tuhan dan manusia hanya bisa menerima), daya naif (sudah berdiskusi dan sadar, tetapi ketika menghadapi masalah manusia cenderung lari dari masalah) dan daya kritis (berdiskusi dan bergerak mencari jalan keluar). Goklas memaparkan bahwa setiap kelompok boleh bergerak di pergerakan masing-masing tanpa perlu pergesekkan. Sebab pergerakan menampung energi satu-kesatuan yang ada bukan perbedaan.
Bung Armando memaparkan bahwa teori keadilan setiap orang berbeda-beda menurutb dalilnya sendiri. Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Pemuda yang dimaksud adalah mahasiswa. Mengapa mahasiswa? Karena mahasiswa sudah di masa tahap pendidikan yang tertinggi di Indonesia. Mahasiswa berperan sebagai agent of change, social control, iron stock, dan lain-lain. Diskusi tidak hanya sekadar berkumpul dan cukup tahu saja tapi memerlukan manifestasi ide. Ide yang dimaksud adalah ketika sudah tau apa yang benar, itu yang dilakukan. Perjuangan mahasiswa ialah menyatukan prinsip sehingga sama rata, sama rasa.
Dari kedua perspektif tersebut, pemateri menyimpulkan bahwa pada akhirnya berdiskusi tidak hanya cukup tahu, tetapi ada pergerakan yang dibuat. Jangan pura-pura lupa akan apa sebenarnya yang menjadi tanggung jawab mahasiswa. Dalam diskusi ini, Pemateri menampilkan video terkait aksi demonstrasi mahasiswa tentang RUU KPK.
Setelah pemateri selesai menjelaskan,
moderator mengambil alih diskusi dan mengarahkan peserta untuk berdiskusi dalam
kelompoknya masing-masing untuk membahas kasus yang diberikan terkait video
yang ditampilkan. Moderator membagi peserta diskusi kedalam 5 kelompok. Kelompok
1 dan kelompok 3 membahas tentang pertanyaan pertama yaitu sudah benarkah
tindakan mahasiswa yang ada dalam video. Menurut kelompok 1, tujuan sudah
benar, namun ada cara yang salah. Sedangkan menurut kelompok 3, tidak dapat
dibenarkan namun tidak dapat disalahkan juga. Mahasiswa harus tau tujuan yang
benar jangan hanya ikut-ikutan. Kelompok 2 dan kelompok 4 membahas tentang
pertanyaan kedua yaitu tentang apakah relevan budaya diskusi dan aksi mahasiswa
sekarang. Menurut kelompok 2 dan 4 hal ini masih relevan selagi memang untuk
keperluan yang besar dan benar-benar dibutuhkan. Diskusi dapat menjadi alat bertukar
pikiran dan menyampaikan aspirasi. Mahasiswa melakukan aksi untuk menyampaikan
aspirasi yang terkadang diabaikan oleh pemeintah atau oknum lainnya. Kelompok 5
membahas tentang perbedaan antara mahasiswa yang dulu dengan mahasiswa
sekarang. Menurut kelompok 5, perbedaannya mahasiswa sekarang tingkat
keapatisan lebih tinggi dari dulu.
Setelah diskusi interaktif selesai
moderator mengarahkan pemateri untuk memberikan closing statementnya. Pemateri
mengatakan, “setelah kita sepaham bahwa diskusi itu penting dan aksi itu
penting lakukanlah. Pastikan rasa kepedulianmu tidak mati tetapi tersalurkan.
Pastikan kita bahkan bisa membangun jembatan atau menjadi jembatan tadi. Ayo
sama-sama melihat apa yang menjadi kebutuhan kampus kita. Ayo sama-sama melihat
apa yang menjadi kebutuhan orang disekitar kita. Ayo pastikan ketika kita tahu
apa yang benar, kita lakukan. Ayo sama-sama melakukan budaya yang benar. Ayo
kita sama-sama mengkritisi namun sebelum mengkritisi pastikan kita paham. Ayo
sama-sama berbudaya diskusi’’.
Kemudian, moderator mengalihkan
forum kepada MC. Peserta diminta mengisi kuisioner yang diperoleh sebagai
indikator untuk mengukur sasaran kualitas yang telah ditetapkan. Selanjutnya,
MC mengambil alih forum dan menutup diskusi dengan menyanyikan lagu pujian dan
berdoa. Setelah itu, pengurus melakukan evaluasi bersama setelah meninggalkan
ruangan. Adapun sasaran kuantitas yang diharapkan adalah 41 AKK, dan yang
datang sebanyak 42 AKK. Sehingga hasil yang diharapkan secara kualitas dan
kuantitas tercapai. Divisi Diskusi Campus Concern FEB berharap AKK semakin diisi
dan terbeban untuk selalu hadir dalam program Diskusi Campus Concern FEB USU.
Komentar
Posting Komentar