Resume Diskusi Online "Nasionalis atau Globalis"
Diskusi daring “Nasionalis atau Globalis?” merupakan
program terakhir Divisi Diskusi Campus Concern FEB USU pada Semester B. Adapun
sasaran kualitas dari program ini adalah peserta diskusi (AKK) mengetahui tentang topik yang dibahas, termotivasi untuk menjaga rasa
nasionalisme di era globalisasi, serta termotivasi untuk mengemukakan pendapat.
Diskusi dilaksanakan pada hari Jumat, 27 November 2020
pukul 19.00 WIB melalui aplikasi conferencing
video, Zoom. Moderator diskusi ialah David Rumahorbo (Ekonomi Pembangunan 2017). Pemateri
ialah Fatah
Baginda Gorby Siregar
(Tenaga Ahli Anggota DPR RI) dan Abangda Cyharji Hutabarat (Ketua Campus Concern FEB USU Periode
2009). Diskusi diawali dengan doa pembuka, dilanjutkan dengan perkenalan
singkat dari moderator. Selanjutnya, moderator mempersilakan pemateri untuk
menyampaikan materinya.
Pemateri Fatah Baginda Gorby Siregar menjelaskan bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis
nasionalisme dikarenakan banyaknya potensi konflik horizontal yang terjadi di
masyarakat kita, baik di media sosial, pemberitaan media massa, maupun di
kehidupan sehari-hari. Beliau juga menjelaskan bahwa saat ini banyak yang memperdebatkan perbedaan padahal
bukan perbedaan yang menjadi tolok ukur besarnya suatu bangsa tetapi persamaan
akan perbedaan itu. Menurut pemateri, nasionalisme adalah rasa cinta tanah air
tetapi tidak hanya cinta tanah dan air, namun kita harus paham dulu apa arti
sebuah bangsa. Soekarno melihat bahwa bangsa kita itu harus diikat, harus
timbul rasa kesetiakawanan dengan melihat penjajahan yang terjadi,
makanya kita harus bersatu untuk lepas dari penjajahan.
Sedangkan konsep
nasionalisme menurut Mahatma Gandhi adalah memiliki rasa kemanusiaan.
Saat ini, banyak orang yang membenturkan rasa nasionalis
dengan agama dan teknologi. Sering sekali seseorang yang punya rasa nasionalis
dianggap tidak beragama. Dalam pengamatan pemateri, nasionalisme dianggap hal
yang remeh. Apabila banyak orang bergerak atas kepentingan masing-masing, maka
kita tidak dapat dikatakan sebuah bangsa. Jadi, nasionalisme itu bukan hanya
mengikuti upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, tapi
nasionalisme itu adalah tanggung jawab sosial—tanggung jawab sebagai mahasiswa terhadap bangsanya harus
dipahami.
Kondisi bangsa kita saat ini banyak yang melupakan
sejarah lahirnya Pancasila, asas sila-sila, filsafat dasar Pancasila. Beliau
mengajak kita untuk merenung;tanyakan pada diri kita masing-masing apakah kita tahu dan sudah benar-benar
memahami ideologi bangsa kita?. Jika berbicara tentang Pancasila
dan Bhineka Tunggal Ika,
mahasiswa harus berada di barisan paling depan. Saat ini, bangsa kita sedang membutuhkan
pemikiran-pemikiran terkait nasionalisme, ideologi Pancasila dari kaum milenial
yang menguasai teknologi;melalui tulisan di blog, tulisan di sosial media, atau
konten-konten kreatif.
Kemudian moderator mempersilakan pemateri kedua untuk
memaparkan materi. Pemateri kedua, Cyharji Hutabarat mempertanyakan mengapa
globalisasi sering dihubung-hubungkan dengan rasa nasionalisme. Kedua konsep
ini memiliki kedudukan yang penting di dunia kontemporer walaupun kemunculannya
berbeda. Globalisasi muncul sejak sebelum masehi, diawali dengan terjadinya
perdagangan internasional antara bangsa-bangsa. Sedangkan nasionalisme muncul
di abad 18. Menurut pemateri, globalisasi bisa juga dikatakan
internasionalisasi, liberalisasi, universalisme, westernisasi dan
deteritorialisasi. Ketika terjadi globalisasi, peningkatan keterkaitan antar
bangsa dan antar manusia di seluruh dunia dan hilangnya batas-batas wilayah
karena kemudahan. Contohnya, jika kita pergi ke negara yang berada di Asia
Tenggara, kita tidak perlu memakai visa tetapi hanya paspor. Selain itu,
ketergantungan antarmasyarakat dunia dalam hal budaya, ekonomi dan interaksi
tanpa dihalangi oleh batas negara atau geografi. Contohnya kita membutuhkan
handphone buatan China, atau sebaliknya China membutuhkan batubara Indonesia.
Ada beberapa faktor yang mendorong globalisasi:
kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (kecepatan, kemudahan dan ketersediaan), semakin
terbukanya sistem perekonomian negara-negara di dunia, mengglobalnya pasar
uang, terjadinya migrasi besar-besaran dan transparansi pers.
Kemudian pemateri menjelaskan apakah ada dampak
globalisasi tersebut. Nyatanya, tidak hanya dampak negatif
tetapi banyak juga dampak positif globalisasi
seperti terbukanya akses bagi setiap orang untuk memperoleh pendidikan yang
lebih berkualitas (misal banyak pelajar yang mengenyam pendidikan di luar negeri),
penyelenggaraan politik
lebih demokratis dan transparan, adanya kemudahan bagi pelaku-pelaku ekonomi untuk
menjalankan aktivitas bisnis, misal bisa melakukan ekspansi usaha atau bisnis di luar negeri
dan pembangunan yang masif, dll.
Jika ada dampak positif, maka ada juga dampak negatif
dari globalisasi seperti matinya produk-produk lokal karena tidak dapat bersaing
dengan produk asing (misal tas lokal kalah bersaing dengan tas buatan
nonlokal), SDM lokal tidak
bersaing atau regulasi cenderung menguntungkan investor, munculnya ideologi
alternatif seperti radikalisme, ekstrimisme, sekularisme dan konsumerisme,
adanya disparitas ekonomi akibat pembangunan yang masif, terjadinya pergeseran
nilai, normal, perilaku dan terjadinya culture
shock.
Lalu, pemateri menanyakan respon kita terhadap
globalisasi. Apakah kita tidak menerima globalisasi? Pemateri memberikan
saran bagaimana seharusnya kita merespon globalisasi yaitu :
·
Kita harus merespon globalisasi
sebagai peluang dan tantangan.
·
Perlunya sikap selektif terhadap
nilai-nilai maupun ideologi baru.
·
Meningkatkan daya saing lewat
pendidikan (penguasaan teknologi, sains dan ilmu pengetahuan).
·
Mengampanyekan untuk selalu
mencintai produk-produk dalam negeri dan didukung dengan regulasi dari
pemerintah.
·
Meningkatkan rasa cinta tanah air
(nasionalisme). Bukan dalam
artian yang sempit, namun rasa nasionalisme yang mengandung kemanusiaan.
Kita tidak perlu memperdebatkan antara globalisasi dan
nasionalisme. Karena kedua hal ini penting. Namun dengan catatan kita harus
tetap menyaring globalisasi tersebut dan mengambil hal-hal yang positif.
Setelah para pemateri menyampaikan materinya, moderator
membuka sesi tanya jawab. Moderator bertanya, apakah benturan antara globalisasi dan nasionalisme
dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, ekonomi? Menurut pemateri Fatah Baginda Gorby Siregar hal
itu bisa terjadi. Nasionalisme
merupakan benteng ketika mengakses hal-hal negatif dari globalisasi. Apabila
seseorang tidak mengerti apa itu rasa cinta tanah air, sibuk akan kepentingan
orang lain sehingga lupa akan orang sekitarnya. Contoh banyak orang yang
memilih golput (golongan putih) dalam pemilu.
Sedangkan menurut pemateri Cyharji Hutabarat tidak ada
benturan antara globalisasi dengan nasionalisme apabila kita mengikuti
langkah-langkah bagaimana merespon globalisasi tersebut. Lalu, moderator
menanyakan kembali “Apakah kondisi demokrasi sekarang mempengaruhi semangat
nasionalisme.” Menurut pemateri Fatah Baginda Gorby Siregar tidak. Kita harus
melihat demokrasi yang seperti apa, jika demokrasinya demokrasi liberal maka
tidak memunculkan rasa cinta tanah air tetapi memunculkan rasa cinta
kepentingan golongan.
Selanjutnya ada pertanyaan dari R. Anand Lie (Manajemen)
kepada pemateri Fatah Baginda Gorby Siregar, “Dari buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’, Soekarno mengatakan bahwa paham nasionalisme,
islamisme, dan marxisme bisa bersatu, bersama-sama sebagai kawan seperjuangan
tanpa harus mendominasi satu sama lain, namun jika kita berkaca pada saat ini,
hal yang dikatakan Soekarno terbantahkan, banyak kelompok yang berusaha
memecahkan bangsa. Bagaimana bisa terjadi dan bagaimana kita sebagai seorang yang punya rasa
nasionalisme menyikapi keadaan-keadaan saat ini?”.
Kemudian
pemateri menanggapi pertanyaan R. Anand Lie dengan menjelaskan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran dari sebelum merdeka, jadi
tidak perlu memperbesar permasalahan-permasalahan dari golongan-golongan
pemecah tersebut. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita kaum
cendikiawan, kaum mahasiswa memberikan rasa cinta tanah air kepada sesama,
mencintai produk dalam negeri, mencintai bangsa sendiri, itu yang akan menghempas
kelompok-kelompok ekstrimis anti negara ini.”
Kemudian moderator
menambahkan bahwa ini merupakan refleksi kepada kita untuk
merenungkan bagaimana
kondisi rasa nasionalisme kita di tengah kampus. Selanjutnya moderator
mempersilakan peserta untuk bertanya. Lalu, R.Anand Lie kembali bertanya kepada
pemateri Cyharji Hutabarat, “gobalisasi dan nasionalisme seharusnya berjalan
selaras, tetapi yang terjadi saat ini di Indonesia, globalisasi jauh lebih
mendominasi dibandingkan dengan nasionalisme. Contohnya ekspansi-ekspansi
budaya luar, seperti budaya Korea Selatan lebih banyak digemari anak muda
sekarang daripada budaya sendiri. Bagaimana seharusnya kita sebagai anak muda
Indonesia menyikapi hal seperti ini?”.
“Menurut saya, globalisasi adalah keniscayaan yang harus
kita terima atau bisa kita tolak sedangkan
nasionalisme adalah ideologi yang bisa kita bangun. Jika kita membenturkannya
maka akan menjadi masalah. Maka dari itu untuk menghadapi globalisasi kita
harus mempersiapkan diri dengan tindakan nyata, seperti kita mengambil bagian
dalam posisi pemerintahan, membangun regulasi yang memihak kepada produk lokal
dan mendukung pemerintah”, jawab Abangda Cyharji Hutabarat.
Kemudian moderator membacakan pertanyaan Devani Iglesya
Sibarani (Akuntansi 2018), “Banyak orang Indonesia yang menganggap diri
nasionalis dan menjunjung demokrasi. Dalam arti, apa pun yang viral, mencolok
ataupun dilakukan oleh orang yang punya nama baik artis, pejabat, dan lain-lain
dengan mudahnya dikritik, dibully oleh netizen Indonesia. Di era globalisasi
ini, bagaimana sudut pandang dalam nasionalis terhadap keberadaan netizen
Indonesia?”.
Moderator mempersilakan pemateri untuk menjawab. Abangda Cyharji Hutabarat menjawab, “bully-membully
ini adalah keniscayaan dalam bermedia sosial, ini adalah faktor berkembangnya
media. Jadi bagaimana kita sebagai warga bangsa dalam merespon hal-hal seperti
ini? Kita harus merangkul perbedaan termasuk perbedaan ideologi walaupun ini
sulit.
Melalui moderator, Devani menanggapi bahwa kita sebagai warga negara harus
hati-hati dalam penggiringan opini. Kemudian pemateri Fatah Baginda Gorby
Siregar menambahkan bahwa penyampaian pendapat itu sudah diatur dalam
undang-undang ITE, tetapi kita juga sebagai masyarakat harus mengatur juga
dalam hal bertutur kata, beretika, jangan menyinggung SARA, fisik seseorang
atau mencaci maki di media sosial. Sebagai mahasiswa perbanyak literasi,
membaca agar dapat menyaring informasi-informasi yang ada di media sosial. Jadi
ketika kita mendapatkan berita hoax kita tidak menyebarkannya kembali ke orang
lain.
Moderator melanjutkan pertanyaan dari Andre Ramses
Panjaitan (Manajemen 2019), “Dalam hal praktik dari mewujudkan nasionalis dan
globalis ini, seperti yang disampaikan pemateri tadi, terkadang ada benturan
namun harus tetap dijalankan bersama dengan baik. Apakah ada negara yang sudah
menjadi bukti nyata representatif dari nasionalis dan globalis yang baik ini?
Atau hal ini adalah hal kompleks yang memang sampai kapan pun harus
diperjuangkan?”.
Pemateri Fatah Baginda Gorby menjelaskan
bahwa yang sudah
dijalankan negara kita ini adalah role
mode karena bangsa kita mempunyai banyak perbedaan dan mengikatnya dengan
Bhineka Tunggal Ika. Budaya asing bisa kita jadikan pembanding. Lalu pemateri
Cyharji Hutabarat menambahkan bahwa belum ada negara yang berhasil menerapkan
ini. Dan walaupun globalisasi datang namun nasionalis kita harus
dipertahankan. Negara harus mengkombinasikan antara mencintai tanah air
keharusan dan globalisasi itu merupakan kesempatan.
Diakhir diskusi, para pemateri memberikan closing statement. Pemateri Fatah Baginda Gorby Siregar mengatakan bahwa pada intinya nasionalisme itu rasa cinta tanah air yang dibutuhkan untuk menyatukan tekad, energi, kreatifitas untuk membuat bangsa ini menjadi maju ke depannya, kita semua mempunyai tanggung jawab ideologis dan moral sebagai anak bangsa Indonesia untuk menjadikan bangsa ini maju, menjaga persatuan kesatuan.
Pemateri Cyharji Hutabarat pun mengatakan kita harus
menganggap globalisasi menjadi tantangan supaya kuat menghadapi persoalan dan
menjadikan kesempatan untuk menjadi momentum membuat negara kita lebih besar
seperti Amerika Serikat dan nasionalisme harus utuh dalam setiap hati kita.
Selanjutnya moderator juga memberikan closing statement
dengan
mengatakan bahwa nasionalisme
itu terbentuk dari diri sendiri dan bukan slogan semata.
Diskusi pun ditutup dengan sesi foto. Adapun sasaran
kuantitas yang diharapkan adalah 38 AKK. Peserta yang hadir sebanyak 38 AKK dan 3 non-AKK sehingga
hasil yang diharapkan secara kuantitas tercapai dan secara kualitas tidak
tercapai. Divisi Diskusi Campus Concern FEB USU berharap semakin banyak peserta
diskusi yang dapat berpartisipasi pada diskusi Campus Concern FEB USU
selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar