Resume Diskusi “Masihkah Birokrasi Kampus Bekerja Untukku?”

Diskusi dengan judul “Masihkah Birokrasi Kampus Bekerja Untukku’’ merupakan program perdana dari Divisi Diskusi pada Semester A Campus Concern FEB USU. Adapun sasaran kualitas dari program ini yaitu agar AKK mengetahui keadaan birokrasi kampus dan termotivasi untuk lebih peduli dengan birokrasi kampus. Diskusi dilaksanakan pada hari Jumat, 08 Maret 2019 pukul 13.30 WIB di ruang GBR 113. MC pada diskusi ini adalah Yuliandary Sihite (Akuntansi angkatan 2017) dan gitaris adalah Riscy Sinaga (Ekonomi Pembangunan angkatan 2018). Moderator pada diskusi ini adalah Boyke Panjaitan (Manajemen angkatan 2016) dan dua orang pemateri; Pemateri I yaitu Kadartua Marbun (Ilmu Perpustakaan angkatan 2016) yang merupakan Menteri Kebijakan Kampus PEMA USU periode 2018-2019, dan pemateri II yaitu Fahrul Rozi Panjaitan (Kehutanan angkatan 2013) yang merupakan Menteri Kajian dan Aksi Strategis PEMA USU periode 2017-2018.
Diskusi diawali dengan nyanyian dan bermazmur dari MC, kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dibawakan oleh moderator. Pembahasan diskusi dimulai pada pukul 14.00 WIB.  Diskusi diawali oleh moderator yang mengatakan bahwa bila kita berbicara mengenai birokrasi, tentunya kita sedang bicara tentang sistem pemerintahan mahasiswa yang memfasilitasi mahasiswa untuk mempermudah keperluan mahasiswa itu sendiri.  Namun, kenyataannya, terdapat banyak masalah yang terjadi, seperti masalah pengisian KRS (Kartu Rencana Studi) di mana birokrasi membuat peraturan bahwa mahasiswa harus mengembalikan buku perpustakaan terlebih dahulu agar bisa mengisi KRS-nya, serta masalah Nilai T yang tidak disertai sosialisasi kepada mahasiswa terlebih dahulu. Sebenarnya, seperti apa cara kerja birokrasi kampus itu? Apakah seperti robot, monster, transparan, atau tertutup?
Pemateri I mengatakan bahwa Presiden PEMA USU 2019-2020, Iqbal Harefa, menanamkan kepada mahasiswa agar memanfaatkan potensi dalam dirinya. Pada hakikatnya, slogan “Ambil Peran” bukan milik PEMA USU, tetapi milik seluruh mahasiswa. PEMA USU telah merilis filosofi logo, simbol, serta slogan “Ambil Peran” sebagai nama kabinet PEMA USU 2019-2020. “Ambil Peran” diangkat berdasarkan kenyataan bahwa kebanyakan mahasiswa sekarang apatis karena hanya mengejar Indeks Prestasi Kumulatif dan prestasi akademik lainnya sehingga lupa tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan.
Kemudian, moderator menanyakan job description dari Kementerian Kebijakan Kampus. Pemateri I menjelaskan bahwa Kementerian Kebijakan Kampus ialah kementerian baru di PEMA USU, hasil pecahan dari Kementerian Kajian dan Aksi Strategis. Fungsi dari Kementerian Kebijakan Kampus sendiri ialah menjadi fasilitator bagi mahasiswa yang ingin menyuarakan pendapatnya. Secara rinci, Kementerian Kebijakan Kampus bertanggung jawab memberikan respons, analisis, dan advokasi dari kegelisahan terhadap kebijakan birokrasi kampus. Lalu, Pemateri II menambahkan bahwa hasil analisis pengurus PEMA sebelumnya-lah yang membuat kementerian tersebut dipecah. Karena, jika tupoksi dari kebijakan kampus masih dilimpahkan kepada Kementerian Kajian dan Aksi Strategis, maka kinerjanya tidak akan optimal. 
Moderator juga menanyakan kepada Pemateri II tentang hal-hal positif yang pernah dikerjakan PEMA pada periode sebelumnya. Pemateri II lalu menjelaskan bahwa PEMA USU 2017 merupakan kemunculan perdana pasca vakum selama 2 tahun. Hal positif yang pernah dilakukan PEMA pada masanya yaitu aksi membela buruh, kemudian aksi aktif dalam mengkritisi komersialisasi pendidikan. Di tahun yang sama, PEMA USU berhasil menyatukan gerakan mahasiswa di setiap kampus Armawangsa, UMN, UMSU, Polmed, Unimed, dan kampus lainnya di kota Medan sehingga dapat membentuk BEM-SI regional Sumatera Utara dengan mempercayakan USU sebagai motor penggerak. Pada forum nasional, PEMA USU juga aktif menggerakan mahasiswa di Pulau Jawa untuk menyuarakan kegelisahannya. 
Lalu, moderator mulai mengarahkan pemateri untuk menjelaskan kondisi birokrasi kampus. Pemateri II mengatakan bahwa struktur birokrasi itu garisnya vertikal. Pemateri II mengangkat contoh masalah tentang masalah UKT Semester 9. Saat itu, tahun 2017 PEMA USU sudah mengadvokasi dan mendata mahasiswa Semester 9 yang bermasalah, namun 50% data tidak terkumpul karena pada masa itu PEMA Fakultas belum terbentuk di seluruh fakultas. Hal ini juga pernah disuarakan ke Biro Rektor. Ia menyebutkan bahwa rektorat saat itu begitu arogan. Alhasil, kesepakatan tentang UKT Semester 9 tidak terealisasi.  PEMA juga pernah membuat program audiensi bertajuk “Satu Hari Bersama Rektor” untuk membahas persoalan tentang mahasiswa Jalur Mandiri yang dimintai biaya skripsi. Ia menjelaskan, arogansi pihak rektorat untuk mahasiswa sebenarnya tidak layak karena birokrasi kampus bukanlah sistem militer. Tapi, menurut Pemateri II, alasan yang membuat pihak rektorat terlihat arogan adalah adanya penurunan sumber keuangan, misalnya mahasiswa Semester 9 Universitas Gadjah Mada yang membayar UKT hanya 50%. Arogansi tersebut menjadi terlihat sebagai upaya kapitalisme dalam hal mencari keuntungan. Namun, sebenarnya USU sudah berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum) yang memiliki hak otonom, yang berarti rektor bisa membuat peraturan sendiri, termasuk kebijakan dalam mencari dana, seperti donasi Tanoto Foundation. Pemateri II mengatakan, status PTN-BH akan berdampak baik pada kemajuan universitas jika pimpinan pucuk (dalam hal ini rektor) juga baik dan birokrasinya ‘bersih’. Pemateri II juga menerangkan arah pembiayaan UKT seharusnya digunakan pihak kampus untuk berbagai aspek kebutuhan mahasiswa. Contohnya, di Universitas Negeri Makassar, rektor mengeluarkan Surat Keterangan berisi komponen dan alokasi UKT, yaitu untuk acara penyambutan mahasiswa baru, Kartu Tanda Mahasiswa, dana administrasi perpustakaan universitas dan fakultas, biaya praktikum dan laboratorium, seminar hasil, dan wisuda.
Pemateri I mengatakan kondisi kampus sekarang masih sama dengan sebelumnya, karena PEMA periode 2018/2019 baru beberapa bulan bekerja.  Sebenarnya, birokrasi kampus harus pro kepada mahasiswa dan kontra dengan rektorat, misalnya tentang transparansi kebijakan. Pada kasus kebijakan bebas pustaka sebelum pengisian KRS, masalah utamanya ialah kurangnya sosialisasi. Ia menambahkan, rektorat sebenarnya tidak salah terkait pengisian KRS, karena pihak rektorat sudah mengeluarkan surat terlebih dahulu, namun tidak disosialisasikan dengan baik di tiap fakultas. Kebijakan denda perpustakaan sebenarnya diberlakukan agar buku dapat dimanfaatkan oleh seluruh mahasiswa. Kemudian, pada masalah kasus nilai T yang berbobot nol, sebenarnya merupakan kesalahan pegawai PSI (Pusat Sistem Informasi) dalam mengaplikasikan sistem. Pemateri II turut menjelaskan kasus sosialisasi kebijakan kampus yang sangat minim dan membingungkan, seperti fungsi kantong parkir di dekat Fakultas Hukum yang seharusnya berguna untuk mengurangi parkir kendaraan mahasiswa yang tidak tertata.
Setelah pemaparan penjelasan dari pemateri, moderator memimpin dan mengarahkan peserta diskusi untuk mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Dalam sesi ini, pemateri menjawab pertanyaan dari beberapa peserta diskusi mengenai denda buku, denda seminar proposal, pembayaran uang kuliah yang tinggi bagi mahasiswa Jalur Mandiri, relasi rektorat terhadap PEMA USU yang ‘harmonis dengan manfaat’, dan proses administrasi yang lamban. Pemateri juga menambah penjelasan tentang kebijakan denda buku dengan alasan sebagian buku sulit didapatkan dengan biaya pengiriman yang mahal. Pemateri juga berpendapat bahwa sanksi berbentuk uang menimbulkan sikap remeh bagi beberapa mahasiswa. Tentang uang seminar proposal, menurut pemateri hal itu telah membudaya di kalangan mahasiswa USU di beberapa fakultas. Untuk membahas hal ini, PEMA bisa ambil bagian melalui Majelis Wali Amanat yang terdiri dari guru-guru besar dan dosen. Sebenarnya, ketakutan mahasiswa-lah yang membuat mahasiswa dipersulit. Mahasiswa Jalur Mandiri membayar uang kuliah dengan jumlah yang lebih tinggi dengan alasan keadilan. Rektorat kurang memanfaatkan sosial media meskipun hubungan PEMA USU dengan rektorat sudah mulai berjalan dengan baik namun kurang mem-follow-up satu sama lain. Perizian surat yang diperlama lebih mengarah kepada masalah oknum pegawai di tiap fakultas yang kurang disiplin. Juga, mahasiswa harus mengkritisi isi UUPT nomor 12 tahun 2012.
Sesi tanya jawab diakhiri dengan closing statement dari pemateri yang menyatakan bahwa mahasiswa merupakan agen perubahan serta perantara antara masyarakat dengan pemerintah. Mahasiswa harus lebih peka dan peduli dengan kehidupan kampusnya dan peran PEMA USU harus lebih aktif untuk membahas birokrasi yang meresahkan mahasiswa. Moderator meminta kedua pemateri mengucapkan satu kata yang tepat untuk mengambarkan birokrasi kampus. Bagi Pemateri I, birokrasi itu ‘kotor’, dan bagi Pemateri II, birokrasi itu ‘lebay’.
Setelah diskusi selesai, moderator mengalihkan forum kepada MC. Peserta diminta mengisi kuesioner yang diperoleh sebagai indikator dalam mengukur sasaran kualitas yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, MC mengambil alih forum dan menutup diskusi dengan menyajikan lagu pujian dan berdoa. Setelah itu, pengurus melakukan evaluasi bersama setelah peserta meninggalkan ruangan. Adapun sasaran kuantitas yang diharapkan adalah 36 AKK, dan yang datang sebanyak 34 peserta (31 AKK dan 3 non-AKK), sehingga hasil yang diharapkan secara kuantitas tidak tercapai. Divisi Diskusi Campus Concern FEB berharap semakin banyak peserta diskusi yang hadir pada Diskusi CC selanjutnya dan berpartisipasi aktif di dalamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?