PROPAGANDA "KORUPSI VS EMPATI" (Oleh Chandra Giovani Pangaribuan)
Jika bahaya
laten korupsi diibaratkan sebagai kerusakan parah dalam suatu mesin tua, sudah
tentu mengkritik dan berusaha memperbaiki mesin tua itu adalah hal yang tidak
tepat untuk dilakukan. Pertama, tidak akan efektif secara nilai ekonomisnya dan
kedua, tidak ada jaminan mesin tersebut tidak memiliki kerusakan tersembunyi di
bagian lain yang belum diketahui. Opsi terbaiknya adalah mengganti mesin tua
tersebut dengan sebuah mesin baru.
Begitulah
secara garis besar paradigma yang mau saya tawarkan kepada kawan-kawan
mahasiswa dalam memandang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Merubah
fokus dan tujuan, dari mengkritik dan menyalahkan generasi tua yang korup (
dengan tidak bermaksud menggeneralisasi semua generasi tua ) beralih ke fokus
untuk mematahkan ‘mata rantai’ korupsi itu agar generasi yang akan datang tidak
terjangkit penyakit yang sama dengan generasi tua kita sekarang.
Belajar
dari sejarah, sudah tergambar jelas pola perlawanan terhadap tindak korupsi
mulai dari orde lama sampai orde baru dan reformasi sekarang ini. Sudah banyak
perlawanan-perlawanan yang dilakukan kalangan pemuda untuk memberantas tindak
korupsi, baik tindakan yang bersifat demonstratif sampai kepada tindakan berbau
subversif. Polanya adalah, mahasiswa sebagai ujung tombak bangsa mengkritik,
menuntut bahkan menjatuhkan suatu rezim pemerintahan karena dinilai korup, lalu
lahirlah suatu rezim baru yang akan diisi oleh mahasiswa dan golongan muda pengkritik
dan penolak perilaku koruptif tadi. Secara logika akal sehat, seharusnya
korupsi sudah hilang dari tanah air ketika generasi pemuda pengkritik dan
katanya anti korupsi itu menduduki bangku pemerintahan. Namun tetap saja,
sampai saat ini tindak korupsi masih tumbuh dengan suburnya bak gulma di tengah
lahan perkebunan yang tak terawat.
Jelaslah
dari pola tersebut bahwa mengkritik dan berupaya memperbaiki generasi tua
sekarang bukanlah solusi yang terbaik untuk upaya pemberantasan dan pencegahan
tindak korupsi. Fokus utama harus diarahkan kepada generasi muda yang akan
memegang kendali atas negara ini dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan. Ibarat seorang bayi
yang harus diberi imunisasi agar daya tahan tubuhnya lebih kebal terhadap
berbagai penyakit, generasi muda juga harus diberikan ‘suntikan’ atau ‘pupuk’
untuk membentengi mereka dari penyakit korupsi. Namun, jika dipandang dari
perspektif mahasiswa dengan jargon yang disandangnya “ Agent Of Change, Agent Of Social Control dan Iron Stock”, suntikan ‘imunisasi’ tidak boleh hanya sekadar
ditunggu kedatangannya. Suntikan itu harus diciptakan sendiri dengan proses
panjang. Artinya, mahasiswa harus berinisiatif memperkuat diri dari godaan
korupsi yang akan mereka jumpai kelak, ketika mereka sudah menduduki sebuah
posisi strategis. Jika tidak, kata-kata “Kami anti korupsi” atau “saya benci
dengan Korupsi dan koruptor” akan dengan mudahnya luntur ketika mendapatkan
suatu jabatan kelak. Itulah mengapa Abraham Lincoln mengatakan “Untuk menguji
karakter seseorang, berikan ia sebuah jabatan”. Maka dari itu sebagai mahasiswa
perlulah untuk ‘memupuk diri’ sedari dini.
Sudah
banyak upaya-upaya yang dianggap sebagai usaha yang dilakukan untuk membentengi
diri dari tindakan-tindakan yang koruptif. mulai dari “Tidak mencontek saat
ujian” , “Tidak menyuap dosen” atau “ Tidak titip absen” dan lain-lain.
Tindakan-tindakan tersebut tentu sangatlah baik untuk dilakukan oleh kalangan
mahasiswa. Namun jika melihat korelasinya dengan upaya pencegahan korupsi,
tentu hal-hal tersebut masih jauh dari substansi pencegahan korupsi itu
sendiri. Secara teori keilmuan juga tidak menunjukan ada hubungan yang
signifikan antara tidak mencontek saat ujian, tidak titip absen dengan
kecenderungan untuk tidak melakukan korupsi.
Daniel
Goleman dalam bukunya “Emotional Intelligence” menawarkan satu konsep yang
rasa-rasanya akan tepat untuk diaplikasikan dalam upaya pencegahan korupsi.
Menurut Daniel Goleman, semua emosi pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan
secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi juga
sebagai perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis,
dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Jadi ada
korelasi yang kuat antara tingkat kecerdasan emosional seseorang dengan kecenderungan
untuk melakukan tindak korupsi.
Salah
satu wilayah kecerdasan emosional menurut Goleman adalah empati. Sebagai
mahasiswa, tentu kita sudah mengetahui dampak langsung maupun tidak langsung
dari korupsi. Korupsi di kalangan pejabat pemerintahan menyebabkan tidak
efektifnya APBN yang sudah disusun sehingga kualitas pelayanan publik tidak
maksimal, banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak nya hingga dampaknya
pada laju perekonomian bangsa dan tentu sangat berpotensi menurunkan taraf
hidup masyarakat ( meningkatkan angka kemiskinan ). Dalam kasus ini, empati
bisa diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan apa dampak dari
korupsi yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Untuk itu, satu hal
yang harus dibuang terlebih dahulu adalah rasa apatis dan satu hal yang harus
ditumbuhkan dalam upaya pencegahan korupsi ini adalah kepedulian sosial.
Artinya sebagai mahasiswa, kaum intelektual yang ‘masih’ independen, harusnya
menjadi kelompok terpelajar yang paling dekat dengan masyarakat. Seperti kata
Tan Malaka “Bila kaum muda yang
telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk
melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali”. Kepedulian sosial pun tak cukup hanya sekadar retorika atau ajang
unjuk eksistensi semata. Setiap aksi sosial yang dilakukan mahasiswa haruslah
meghasilkan ‘Multiplier Effect’, baik
dampaknya untuk masyarakat maupun terhadap peningkatan rasa empati dan
kepedulian sosial mahasiswa.
Banyak jenis aksi sosial yang bisa dilakukan
mahasiswa dan pemuda dengan melihat keadaan yang terjadi di lingkungannya.
Sebagai contoh, Vespa Pustaka di Sumatera Barat yang dilatarbelakangi sulitnya
akses buku ke daerah pelosok atau aksi mahasiswa mengajar yang sudah banyak
dilakukan secara kontinu di berbagai perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan
seperti inilah yang diharapkan menjadi refleksi tersendiri bagi mahasiswa dan
generasi muda tentang betapa masih banyak masalah di Negeri ini. Melalui kegiatan
seperti ini juga, mahasiswa dan generasi muda bisa merasakan secara langsung
bagaimana dampak dari korupsi yang secara ‘masif’ dilakukan para birokrat dan
pejabat negara sehingga kesadaran dan komitmen yang kuat untuk memberantas
korupsi akan muncul.
Intinya adalah bagaimana mahasiswa tidak
sekadar berfokus untuk “tidak melakukan hal-hal yang dinilai koruptif seperti
mencontek, titip absen”, juga tidak sekadar fokus pada peningkatan kualitas
intelektual dan kognnitif, tetapi mau untuk lebih memupuk kesadaran dan
kepedulian tentang seberapa besar bahaya dan dampak korupsi itu bagi kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Setidak-tidaknya, dengan merasakan dampak korupsi
secara langsung akan mengurangi gairah untuk melakukan korupsi kelak. Yang tak
kalah penting, peningkatan daya kritis
terhadap pengelolaan dan penggunaan keuangan negara oleh mahasiswa adalah
mutlak perlu untuk bersinergi dengan kesadaran dan kepedulian sosial yang akan
dipupuk. Selamat Hari Anti Korupsi ( 9
Desember 2017 )
Komentar
Posting Komentar