Ideal Tapi Tak Realistis (Shanya, Akt 2016)


Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1). Untuk memperoleh gelar sarjana, secara normatif dibutuhkan waktu perkuliahan selama 4-6 tahun atau telah menempuh perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak 140-160 dan sudah dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang gelar sarjana.

Sampai saat ini menjadi sarjana mungkin masih merupakan dambaan dan harapan bagi sebagian besar orang, tentu dengan alasan dan motif yang beragam, mulai dari motif yang dimaknai sebagai dorongan yang lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, misalnya untuk menjadi kaya-raya, atau mendapat kedudukan dalam jabatan, melalui upaya dan tindakan yang menghalalkan segala cara dan motif yang dapat dipahami sebagai motif yang didasari untuk melayani dan memberikan manfaat bagi orang lain, melalui upaya belajar keras dan penuh kesungguhan. Terlepas dari kedua motif tersebut sebenarnya seperti apa kriteria seorang sarjana yang ideal. Seorang sarjana yang ideal jika kita berorientasi pada pengertian dunia, ketika masih menjadi seorang mahasiswa sudah mempersiapkan

1. Tujuan yang jelas

2. Performa akademik yang dinamis

3. Asah 21st century skill

4. Jalin networking dan cari pengalaman

Namun diatas segalanya sarjana yang ideal adalah sarjana yang takut akan Tuhan. Seperti ada tertulis “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Ams 1:7). Sangat jelas bahwasannya ilmu tanpa iman adalah sia-sia saja.

"Kalau cuma menganggur di rumah, buat apa dulu kuliah? Sudah sana, pakai saja ijazah SMA untuk daftar kerja." Sebuah realita pahit dunia kerja yang kian kompetitif dan inovatif melihat jumlah sarjana tinggi dan tidak terserap. Hal ini muncul karena sarjana yang berdaya saing dan adaptasi rendah.

Pada perguruan tinggi, terkhusus untuk level Sarjana (S1), pembelajaran lebih ditekankan kepada konsep dan teori dengan minim pengalaman praktis. Cukupkah teori/konsep dan pemahaman bersifat deskriptif (bukan analitis) untuk menjadi modal mahasiswa menghadapi sengitnya kompetisi pada industri pekerja? Saya rasa tidak cukup. Mahasiswa membutuhkan teori/konsep, tetapi mereka juga butuh pengalaman mengaplikasikannya. Dengan demikian, metode pembelajaran yang bersifat "eksperensial" perlu dikembangkan dan diterapkan.

Mahasiswa berbeda dari siswa yang dituntut agar dapat belajar secara mandiri. Untuk mengatasi permasalahan kurangnya pemahaman dan penerapan teori, mahasiswa perlu secara kreatif mencari solusinya. Kunci dari permasalahan tersebut adalah manajemen khususnya manajemen diri yang dikerjakan seorang sarjana pada saat dia masih disebut mahasiswa.

Kegiatan yang banyak, dan tugas-tugas yang menumpuk terkadang membuat kita bingung bahkan pusing untuk melakukan sesuatu. Maka dari itu, kita harus bisa meminimalisasi keadaan yang tidak penting atau tidak menguntungkan bagi kita. Untuk itu sangat diperlukannya manajemen diri. Manajemen diri adalah proses melakukan perencanaan, perorganisasian dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai suatu keadaan yang ideal. Pada intinya, manajemen diri adalah segala sesuatu atau proses yang berhubungan dengan tercapainya goal yang kita inginkan dan kita menjadi pemimpin atas diri kita.

Bicara manajemen diri pastilah di dalamnya ada komponen-komponen yaitu yang pertama manajemen pikiran yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang sarjana mengerti bahwa sejatinya identitasnya adalah garam dan terang. Berbicara garam dan terang dimaksudkan adanya kehadiran atau dengan kata lain impact dari kualitas diri kita yang menjawab tantangan zaman. Namun ternyata jika ditelisik lebih dalam, yang menjadi masalah adalah seorang sarjana ketika ia mengenyam bangku perkuliahan tidak punya tujuan ataupun mempersiapkan dirinya untuk menjadi garam dan terang. Banyak sekali mahasiswa yang kuliah bukan termotivasi untuk mencari ilmu dan pengalaman, tapi untuk mencari ijazah (orientasi pada hasil) sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya tersebut, mindset seperti inilah yang seharusnya diubah . Dengan orientasi pendek seperti itu, mereka akan mengabaikan proses yang berharga untuk mempersiapkan diri dalam hal mengisi diri seperti membaca, datang ke kelas hanya formalitas, tugas dikerjakan seadanya, diskusi kelompok tidak mau berkontribusi tetapi mau nilainya maksimal, dikasih tugas sama dosen mengeluhnya setengah mati. Seharusnya seorang sarjana sudah menjadi pemimpin atas dirinya sejak dari bangku perkuliahan.

Komponen kedua yaitu manajemen waktu, kebanyakan mahasiswa selama masa perkuliahan tidak mau merasakan proses sehingga menyia-nyiakan waktu yang ada. Mereka hanya tahu mengeluh dan menyesal. Semua masalah disalahkan kepada dosennya, tidak mau menyalahkan diri sendiri padahal bisa jadi ia yang tak mau memanfaatkan waktu yang terus berjalan dan tidak mengambil kesempatan yang ada.

Waktu menjadi salah satu sumber daya yang harus dikelola secara efektif dan efisien. Efektifitas terlihat dari tercapainya tujuan menggunakan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya dan efisien tidak lain mengandung dua makna yaitu makna pengurangan waktu yang ditentukan, dan makna investasi waktu menggunakan waktu yang ada. Manajemen waktu bertujuan kepada produktifitas yang berarti rasio output dengan input.

Dunia kerja saat ini membutuhkan sumber daya yang terampil, sebagai seorang mahasiswa dituntut untuk mempunyai keahlian hard skill yang tinggi, Hard skill merupakan keahlian bagaimana nilai akhir kuliah mahasiswa/nilai akademis (IPK) mahasiswa ini sebagai persyaratan untuk memenuhi admnistrasi dalam melamar pada suatu perusahaan, selain harus memiliki IPK yang tinggi di era persaingan yang ketat ini juga kita dituntut memiliki soft skill yaitu ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skill) keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skill), Baik hard skills maupun soft skills merupakan prasyarat kesuksesan seorang sarjana dalam menempuh kehidupan setelah selesai pendidikannya. Hard skills ditekankan pada aspek kognitif dan keahlian khusus menurut disiplin keilmuan tertentu, sedangkan softskills merupakan perilaku personal dan interpersonal skill yang diperlukan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kinerja seorang manusia. Pada saat seorang sarjana masih duduk di bangku perkuliahan seharusnya mengatur waktunya untuk menghasilkan sebuah output yang punya benefit untuk menjadi daya jual di dunia kerja selain daripada teori yang di dapatnya di bangku perkuliahan hal itu bisa didapatkan dengan memberi waktu untuk menjadi bagian dari sebuah organisasi guna mengasah soft skill.

Sebagai seorang sarjana sudah seharusnya memiliki manajemen diri yang baik, hal ini bisa dipupuk ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Ketika sebagai seorang mahasiswa pun sudah memiliki manajemen diri yang baik maka kualifikasi sebagai seorang sarjana yang ideal pun akan lebih mudah untuk dipenuhi. Menurut ukuran dunia kita sudah mampu bersaing dan akan menghasilkan buah seorang sarjana yang siap menjadi garam dan terang di manapun akan bekerja. Seorang sarjana menjadikan Tuhan sebagai poros dalam berkarya juga harus memiliki visi dan misi dalam hidupnya. Seperti halnya yang ditulis di 1 Korintus 9: 26 "Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul." Selagi kita masih duduk di bangku perkuliahan tidak ada kata terlambat, semangat mempersiapkan diri ketahuilah yang kau kerjakan sekarang akan kau tuai di hari selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?