Buku Adalah Jendela Dunia (?) (Oleh Shintia Gultom)
“ Aku rela dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas” - Mohammad Hatta
Petikan dari Hatta
tersebut menunjukkan bahwa ia benar benar mencintai membaca buku -kumpulan kertas
yang berisikan deretan kata-kata yang dapat membawa kita bebas, bebas kemanapun
kita ingin buku itu membawa kita. Dalam situasi masa penjajahan kala itu, tentu
kata kata ‘penjara’ dan ‘bebas’ adalah hal yang sensitif. Mantan wakil presiden
ini memberi salah satu tips untuk merasa
bebas – situasi yang kala itu sangat diinginkan bagi masyarakat Indonesia
sebagai negara yang dijajah, yaitu dengan membaca buku. Bukti bahwa ia
menyadari seberapa pentingnya membaca buku.
Keterbatasan
kala itu mungkin dapat menjadi alasan mengapa minat membaca saat itu masih rendah, jangankan
membaca buku, tetap bisa bertahan hidup saja sudah syukur. Namun kini Indonesia sudah 71
tahun merdeka, adakah yang berbeda?
Sejak tahun 2002, 17
mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari buku Nasional di Indonesia. Yang
bertepatan dengan tanggal pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(Perpusnas) di Jakarta pada 17 Mei 1980.
Dengan adanya hari buku Nasional ini, pemerintah berupaya membangkitkan
semangat masyarakat Indonesia untuk membaca, mengunjungi perpustakaan dan
menambah ilmu mereka.
Faktanya di Indonesia,
hanya 18 ribu judul buku yang dicetak tiap tahunnya. Hal ini berbeda jauh
dengan negara lainnya seperti Jepang, mencetak 40 ribu judul buku per tahun, dan China 140 ribu judul buku
per tahun. Hal ini menunjukkan ketertarikan
masyarakat Indonesia akan membaca
buku pada umumnya masih rendah. Padahal
ucapan “ Buku adalah jendela dunia” sudah ditanamkan para guru ke muridnya
sejak menempah bangku sekolah dasar. Namun seperti kebanyakan kata bijak
lainnya, kata-kata itu lebih menjadi isi hiasan lukisan di dinding kelas daripada
isi kepala si anak.
“Jendela” yang
diciptakan Indonesia untuk “melihat dunia” lebih sedikit dari negara lain
seperti Jepang atau China. Tidak salah jika dikatakan ini adalah sebuah angka
minus dalam mengejar ketertinggalan. Kurangnya kesadaran masyarakat memang
menjadi alasan utama mengapa hal ini terjadi. Jangankan untuk “membuat
jendela”, melihat dunia dari jendela yang sudah ada saja, kita terkadang masih
enggan. Melihat dunia dari jendela, yang dimaksudkan disini adalah membaca. Ya,
membaca buku memang masih belum menjadi kebutuhan bagi kebanyakan masyarakat
Indonesia. Membaca lebih dikaitkan dengan keharusan, bagi pelajar khususnya.
Ketika mengikuti pelajaran, harus membaca text
book. Ketika mengerjakan tugas, harus membaca buku refrensi. ‘Jendela’ itu
terkadang hanya diintip saja, tanpa dibuka seluruhnya. Atau bahkan hanya
dilihat saja ( sekedar pengisi daftar pustaka dalam mengerjakan tugas).
Miris memang, ketika
kita lebih memilih untuk melihat/mengintip
dunia dari lubang lubang kecil yang lebih praktis daripada membuka
keseluruhan jendela. Memperoleh jawaban dan informasi yang dibutuhkan dengan
sekedar mengetik dan membaca highlight
opini dari blog blog hasil pencarian di mesin pencari Google memang lebih cepat dan mudah daripada membaca satu buku yang
membahas satu topik dengan rinci. Namun, kenyataannya hal ini membuat generasi
ini semakin berpikiran dangkal dan menumbuhkan rasa malas karena sudah terbiasa
memanjakan otak dengan segala kemudahan yang ada.
Sayangnya, masih banyak
masyarakat yang bahkan tidak tahu adanya hari buku nasional di Indonesia.
Memang sulit menumbuhkan kecintaan dalam membaca buku jikalau sudah terbiasa
dengan “mengintip dunia melalui lubang kecil”. Namun untuk mengatasi krisis
ini, kita sebagai mahasiswa sudah selayaknya turut mengambil peran. Kita bisa
memulai mengurangi anggota populasi pencari jalan pintas, dari diri kita
sendiri. Intinya adalah bahwa kita sadar akan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Kita dapat mulai dari hal-hal sederhana seperti:
1)
Mulai membaca buku
2)
.
Komentar
Posting Komentar