Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi ?



    
Sempat berfikir, bagaimana nasib negeriku berapa tahun ke depan? Apakah nantinya aku masih bisa menikmati udara sore senikmat udara pada sore ini? Dan, akankah anak-anak kecil masih bisa tertawa riang, lepas, dan bebas berlari-lari di tengah lapangan rumput nan hijau nantinya? Adakah yang merasa sakit jika melihat kondisi saat ini? Adakah yang masih peduli dengan semua itu? Jangankan peduli, setidaknya adakah yang masih menyadari akan hal itu?

Saya sempat pesimis melihat kondisi alam saat ini. Di kiri dan kanan jalan bayak saya temui berbagai kegiatan pembangunan. Seharusnya saya bangga karena itu artinya negeri ini sedang mengarah pada kemajuan. Namun di satu sisi muncul kekuatiran yang begitu kuat. Apakah pembangunan ini murni untuk memajukan taraf kehidupan bangsa ini, atau karena adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mendominasi?

Memang dengan adanya pembangunan di sana sini, berbagai kebutuhan akan sarana dan prasarana mulai tercukupi. Niat mulia dari pembangunan ini memang membawa kemajuan pada bangsa ini, tapi tak jarang niat mulia itu dikotori dengan ketamakan kaum-kaum dominan. Coba kita lihat sekeliling kita, seberapa sering kita menemukan sawah, ladang, dan padang rumput di sekitar kita? Daerah-daerah resapan air pun mulai sulit ditemukan. Hutan-hutan lindung mulai terancam keberadaannya. Bahkan ada yang sehari-harinya, bangun di pagi hari dan menjumpai pemandangan berupa tembok-tembok bangunan.

Negara kita yang menurut pengakuan negara lain merupakan negara yang kaya raya akan berbagai sumber daya alamnya, perlahan-lahan mulai meninggalkan masa keemasannya. Bahan makanan pokok saja diimpor, bagaimana dengan bahan-bahan yang lainnya? Saya juga berpikir, apa bangsa ini merasa masih tetap kaya raya, sehingga acuh akan nasib negara ini ke depannya? Apa semua merasa sangat berkelimpahan sehingga merasa tidak perlu untuk menabung sumber daya di masa tua nanti?
Kalau tetap seperti ini, perlahan tapi pasti saya yakin bangsa ini akan menjumpai gerbang kehancurannya. Kita ambil contoh yang real, semua orang pasti  kenal kota Jakarta. Kota yang begitu glamour di mana segala jenis manusia berkumpul karena memang kota ini pusatnya negara Indonesia. Tahun lalu sempat dikabarkan bahwa kota ini mengalami penurunan ketinggian tanah, akibat berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan. Melihat kenyataan seperti ini, bukan tidak mungkin kota-kota anak lainnya akan mengikuti jejak induknya.
Jika hal ini terus menerus dilakukan namun dengan pertimbangan yang masih mentah, bukan kemajuan yang akan kita peroleh namun sebaliknya. Kehancuran bukan hal yang sepele, ini sama dengan representasi kondisi di neraka. Namun neraka dalam konteks di bumi kita. Pastinya tidak seorangpun ingin hidup di situ. Tapi melihat kondisi saat ini, saya rasa hanya itulah upah yang pantas atas segala ketidakpedulian dan ketamakan kita terhadap negara ini. Semua hanya peduli dengan kepentingannya. Jangankan peduli dengan anak jalanan yang malang, bahkan keluarga pun mungkin sudah tidak dianggapnya. Pelan-pelan semua hanya akan peduli dengan diri sendiri.
 Seharusnya, pembangunan tetap mempertimbangkan bagaimana masa depan negara ini nantinya. Bukan karena adanya persaingan dengan negara lain, atau karena adanya kepentingan-kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita tingkatkan kesadaran dan kepedulian kita akan negeri ini. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli dengan nasib anak dan cucu kita nantinya. Allah kita saja sangat mengasihi kita. Semua umat manusia berharga di matanya. Kasihnya yang sempurna bahkan diberikan kepada kita secara cuma-cuma. Jadi saya rasa, tidak ada alasan untuk tidak peduli dengan nasib negeri kita ini. Juga tidak ada alasan bagi kita, untuk merasa lebih besar sehingga pantas untuk mengacuhkan yang lain.

Jessica M Butarbutar
Akuntansi’ 10
Berkecimpung di CampusConcern


Komentar

  1. Ricky Tampubolon31 Mei 2013 pukul 08.42

    Dear CC,

    Banyak sekali yang bisa dikerjakan, walaupun banyak tantangan. Tetapi usaha kita tidak akan jadi bumerang apabila, sebelum mengubah keluar, adalah lebih baik mengubah didalam. Melatih diri kita untuk dapat menjadi teladan. Sangatlah tidak mudah, tapi cepat atau lambat sesuatu latihan yg tekun akan menghasilkan kebiasaan dan karakter. Sehingga antara Kata dan Tindakan adalah sama. Orang lain pun tidak akan punya "pedang" untuk menusukkannya kepada kita, karena memang tidak ada celah. Semoga kita semua mampu untuk melatih diri kita seperti seorang olahragawan dan mampu berperang seperti seorang prajurit. Tuhan memberkati.

    BalasHapus
  2. Syaloom bang Ricky Tampubolon.......
    Setuju sekali bang. Kita harus berlatih tekun dan mempersiapkan diri agar terbentuk karakter sehingga hal hal positif yang ingin kita wujudkan benar-benar membawa suatu perubahan yang baik. Terimakasih utk semangatnya bang. Tuhan memberkati.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?