Jangan Salahkan IPTEK
Bermula dari sekedar
ikut-ikutan, banyak generasi bangsa terjebak pada perkembangan kemajuan
teknologi dan informasi. Game Online (GO), menjadi kecoak yang menakutkan bagi
orang tua yang memiliki anak yang masih mudah dan belia. Kemudahan mengakses
situs-situs dewasa menambah kecemasan terhadap perkembangan moral anak bangsa.
Data Kemenkominfo hingga pada tahun 2013 menyebutkan bahwa
telah memblokir sejuta situs porno. Jika diukur signifikansinya terhadap
kekerasan seksual yang terjadi di tanah air, maka usaha tersebut dapat
dikatakan gagal. Karena jika dibandingkan dengan data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) tahun 2012, tercatat sekitar 2.637 aduan yang terkait
kekerasan seksual pada anak. Apalagi memang sering diberitakan dalam media
terjadi perkosaan dalam angkot, kekerasan seksual yang dilakukan guru terhadap
siswa, bahkan mungkin kita juga sudah turut terlibat di dalamnya. Sungguh
menghawatirkan. Belum lagi masalah yang ditimbulkan oleh Game Online, membuat
anak hanya bermalas-malasan di depan layar monitor, melupakan tanggung jawabnya
untuk belajar. Seorang teman perkuliahan saya mengakui sulit baginya untuk
lepas dari yang namanya GO. Bahkan menurut pengakuannya, dia sering begadang di
warnet setiap malam. Akhirnya dia saat ini tidak pernah kelihatan di kampus dan
terancam Drop Out (DO).
Jika hal ini terus dibiarkan berlanjut, maka negara akan
banyak kehilangan generasi penerus bangsa yang berkualitas, akan marak terjadi
kekerasan seksual dan lainnya, moral anak bangsa yang terkikis dan kehilangan
jiwa manusiawinya, tidak peduli dengan dirinya sendiri apa lagi dengan
orang lain.
Kendali seutuhnya berada pada keluarga dan sekolah. Jika keluarga
mampu mengontrol anak-anaknya dalam penggunaan gadget dan waktu, diajarkan
kesibukan yang berguna untuk perkembangan pengetahuan dan skil anaknya, maka
akan memiliki signifikansi yang luar biasa. Orang tua tidak boleh apatis
terhadap kegiatan anak, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Lingkungan
keluarga yang nyaman dan tentram akan membuat anak lebih betah di rumah dari
pada menghabiskan waktu di depan monitor. Komunikasi antar keluarga jauh lebih
intens dari pada harus lewat sistus jejaring sosial dan alat komunikasi
lainnya. Tidak lupa dengan sekolah yang menjadi ujung tombak pembentukan moral
dan karakter siswa harus mampu menyediakan wadah bagi siswa untuk menyalurkan
bakat dan potensi anak didik. Mengadakan kegiatan ekstrakulikuler yang bermutu
dan juga pengawasan terhadap sikap dan pola aktivitas siswa. Pendidik harus
sensitif terhadap siswa. Terlebih lagi bagi mahasiswa sebagai agen pembawa
perubahan harus lebih bijak menggunakan internet. Jangan malah ikut terjebak di
dalamnya.
Septon Malau (Akuntansi'
11)
Berkecimpung di CC
Komentar
Posting Komentar