DARI KERAGUAN MENJADI KEYAKINAN

 

DARI KERAGUAN  MENJADI KEYAKINAN

Oleh: Nomida Kristina Gultom

Impostor syndrome atau sindrom penipuan adalah fenomena psikologis dimana seseorang merasa tidak pantas atau meragukan kemampuan dan pencapaiannya. Impostor syndrome merupakan pengalaman yang personal dan kompleks. Setiap individu mungkin memiliki alasan dan faktor pemicu yang berbeda. Individu yang mengalami impostor syndrome cenderung merasa seperti penipu, meskipun secara objektif telah mencapai prestasi yang cemerlang. Fenomena ini dapat menghambat kepercayaan diri dan mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang. Mereka merasa tidak layak mendapatkan pengakuan atas kesuksesan yang telah mereka peroleh, dan merasa khawatir bahwa orang lain akan mengetahui bahwa mereka sebenarnya tidak kompeten.  Impostor syndrome dapat muncul di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, karier dan hubungan pribadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya impostor syndrome meliputi tekanan sosial, perbandingan dengan orang lain, ketakutan akan kegagalan, dan standar yang tidak realistis yang diterapkan pada diri sendiri.

Rasa tidak puas terhadap prestasi atau pencapaian dapat merusak kepercayaan diri kita. Hal ini dapat timbul ketika kita membandingkan pencapaian orang lain dengan diri kita sendiri, hingga akhirnya kita merasa  bahwa prestasi yang kita capai sebenarnya tidak layak dan hanya suatu keberuntungan. Hal ini umum terjadi dan bukan merupakan pertanda bahwa kita benar-benar penipu, melainkan hanya bentuk dari perasaan kita saja.

Impostor syndrom dapat menghambat kemajuan dan pertumbuhan karier dari orang yang mengalaminya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa salah satu faktor yang menimbulkan impostor syndrom adalah standar yang tidak realistis yang diterapkan pada diri sendiri. Mahasiswa yang menerapkan standar yang tidak realistis tentu akan membebani dirinya sendiri. Ketika berhasil mencapai prestasi akademik yang baik dan cemerlang, individu yang mengalami impostor syndrom akan meragukan kemampuannya, ia cenderung mempertanyakan prestasi, keberhasilan atau prestasi yang diraihnya. Setiap kali mahasiswa tersebut menerima pujian dari teman-teman atau dosen atas kemampuan ataupun prestasi yang diraihnya, dia akan kesulitan menerima pujian tersebut dan berpikir bahwa dirinya hanya sedang beruntung. Maka dari itu, bukan hal yang mengherankan jika impostor syndrom cenderung mudah dialami oleh mahasiswa.

Dewasa ini, perkembangan sosial media merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain sebagai sarana hiburan, media sosial juga kerap digunakan mahasiswa sebagai wadah untuk membagikan pencapaian akademik atau pengalaman  positif di bangku perkuliahan. Semakin sering melihat pencapaian dan prestasi cemerlang orang lain di media sosial akan membuat individu yang terkena impostor syndrom  merasa kalah dan kerdil. Individu tersebut akan berpikir bahwa prestasi dan kemampuannya tidak sebanding dengan orang lain, ia juga akan merasa takut akan penilaian orang lain.

Tantangan akademik yang tinggi juga dapat membuat seorang mahasiswa tertekan karena merasa tidak cukup berbakat untuk menghadapi tuntutan di bangku perkuliahan. Setiap kali menghadapi kesulitan atau mengalami kegagalan kecil, mahasiswa yang mengalami impostor syndrom akan menganggapnya sebagai bukti ketidakmampuan dari dirinya. Selain itu, mahasiswa juga terjebak dalam lingkungan yang sangat kompetitif di kampus, dimana antar mahasiswa saling menunjukkan prestasi yang mengesankan. Jadi bukan hal yang langka jika seorang mahasiswa merasa bahwa prestasinya tidak sebaik orang lain. Rendahnya kesadaran bahwa setiap orang terlahir berbeda dengan keunikannya masing-masing, menjadi salah satu hal yang memicu mahasiswa mengalami impostor syndrom.

Dalam perjalanan mengatasi impostor syndrome, penting untuk menghargai pencapaian diri sendiri, mengubah pola pikir yang negatif, dan belajar untuk menerima pujian dan pengakuan. Dengan membangun kepercayaan diri yang kuat dan merangkul ketidaksempurnaan, kita dapat mengatasi rasa tidak puas dan meraih potensi diri yang sebenarnya. Rasa syukur atas segala hal yang kita miliki dapat menjadi pondasi kuat agar terhindar dari impostur syndrom. Mengakui pencapaian dan menghargai diri sendiri adalah langkah awal yang penting, sadari dan hargai pencapaian diri sendiri, baik yang kecil maupun besar. Kita bisa membuat daftar pencapaian dan kualitas positif yang kita miliki. Tanamkan pada diri sendiri bahwa kita pantas mendapatkan pengakuan dan kesuksesan yang telah kita capai. Penting juga untuk membangun dukungan sosial, baik melalui diskusi terbuka dengan orang lain yang mengalami hal serupa atau melalui dukungan dari keluarga, teman atau mentor. Selain itu, kita juga tidak boleh membandingkan diri kita dengan orang lain.  Setiap individu memiliki perjalanan, keahlian, dan keunikan mereka sendiri. Fokuslah pada kemajuan pribadi dan pertumbuhan diri kita.

Mengatasi Impostor Syndrome adalah proses yang berkelanjutan.  Hampir semua orang pernah mengalami keraguan dan ketidakpuasan pada satu titik atau lainnya. Menerima ketidaksempurnaan diri dan menghargai perjalanan pribadi dapat membantu mengatasi perasaan penipuan dan meningkatkan kepuasan terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan individualis diperlukan dalam  mengatasi permasalahan impostor syndrome.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?