Resume Diskusi Daring "Literasi VS Generasi Milenial"
Diskusi daring “Literasi vs Generasi
Milenial” merupakan program terakhir Divisi Diskusi Campus Concern FEB USU pada
Semester A. Adapun sasaran kualitas dari program ini adalah peserta diskusi (AKK) mengetahui pentingnya literasi, termotivasi
untuk mengembangkan budaya literasi di kampus, dan termotivasi mengemukakan
pendapat.
Diskusi dilaksanakan pada hari Jumat, 22 Mei
2020 pukul 19.10 melalui aplikasi conferencing
video, Google Meet. Moderator diskusi ialah Tri Jessica Banjarnahor (Akuntansi 2018).
Pemateri ialah Goklas Wisely, yang merupakan ketua KDAS (Kelompok Diskusi dan
Aksi Sosial) masa jabatan tahun 2016-2017. Pada masa kuliah, pemateri di bina
di KMK UP FISIP. Saat ini pemateri bekerja
pada lembaga riset di Kota Medan.
Diskusi diawali dengan doa pembuka,
dilanjutkan dengan perkenalan singkat
dari moderator. Selanjutnya, moderator mengarahkan ke pertanyaan apakah itu
literasi dan apa awalnya cikal bakal literasi?.
“Secara harafiah, literasi: sebuah aktivitas
menulis, membaca, menghitung, menganalisis. Mengapa literasi penting bagi era
mahasiswa saat ini? Sebenarnya sesuatu itu penting, dapat dilihat dari apakah
subjek atau manusia menganggap hal itu menjadi kebutuhan bagi dirinya. Ketika
literasi kita anggap sebagai kebutuhan bagi diri kita, maka disitulah literasi
dianggap penting”, jawab pemateri.
Pemateri memberikan dua pilihan
kepada peserta diskusi yang mana pilihan itu terjadi pada waktu yang sama,
yaitu ajakan untuk mengikuti pelatihan menulis dan pilihan kedua mengikuti
pelatihan berbisnis atau berwirausaha. Clara Ade Putri (Akuntansi 2018) memilih
pilihan kedua (mengikuti pelatihan berbisnis/berwira usaha) karena tidak
tertarik dengan kelas menulis. Witha Panggabean (Ekonomi Pembangunan 2017)
memilih pilihan kedua karena saat ini, yang dia butuhkan adalah kelas berbisnis
dan terkait dengan jurusan yang diambilnya.
Pemateri menarik kesimpulan bahwasanya kita,
secara umum, pasti akan memilih pilihan kedua (kelas berbisnis). Memang benar
kelas berbisnis merupakan kebutuhan kita apalagi jurusan kita adalah ekonomi.
Tapi coba pertanyakan pada diri sendiri, motif lain mengapa kita memilih
pilihan tersebut.
Lanjut, pemateri mengulas literasi
vs generasi milenial dengan perspektif fenomenologi; terbagi tiga yaitu motif
apa?, aktivitas apa?, dan sejarah apa?. Berdasarkan etimologi/pemaknaan kata
‘literasi’, literasi dalam Bahasa Latin disebut literatus, yaitu proses
belajar.
Kemudian pemateri memberi ilustrasi
seorang dosen tua yang mengajar dengan membaca materi dan mahasiswanya mencatat
materi lalu mengerjakan tugas berdasarkan instruksi dosen itu dengan membaca,
menulis dan menganalisis. Menurut Putri Damayanti (Akuntansi 2019), aktivitas
dosen dan mahasiswa itu dapat dikatakan sebagai literasi sesuai dengan
pengertian literasi secara umum. Dan juga secara etimologis bisa dikatakan
sebagai proses belajar; dosen juga memberikan tugas tersebut pada mahasiswa
sebagai proses belajarnya mahasiswa.
Pemateri memberi gambaran bahwa
dalam etimologi kata, literasi merupakan sebuah proses belajar. Artinya ada
proses pembelajaran. Biasanya orang yang mau belajar, motif tunggalnya ialah
rasa ingin tahu. Dari sudut pandang mahasiswanya, apakah benar ketika
menuliskan materi dari yang dosen ucapkan motifnya ialah rasa ingin tahu atau
motif untuk mendapat nilai yang bagus?.
Pemateri melanjutkan bahwa literasi
dapat diulas dari etimologi kata, bahwa ada sebenarnya hal yang mungkin dapat
kita pakai untuk menganalisis aktivitas yang tampak biasa saja tetapi
sebenarnya itu bukan literasi yang kita maksudkan. Oleh karena itu, definisi
secara umum dengan definisi secara etimologi kata, menurut pemateri, ini masih
kurang dapat mengakomodir ‘mengapa literasi ini penting’. Literasi dalam
etimologi kata dapat dikatakan sebagai spirit
(roh). Misalnya kita ibadah, secara teologis, tapi itu ternyata hanya sebagai habbitual saja. Tampak dari luar, ini
adalah ibadah. Tetapi jika diisi ke dalamnya, apakah ibadahnya itu diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, inilah roh: tujuan, pemaknaan.
Dalam perspektif sejarah, literasi
berkaitan dengan generasi, di era saat ini yaiu generasi milenial. Dalam
sejarah, ada fase generasi; gen baby
boomer (1946-1960) gen X (1960-1980), gen Milenial yaitu kita (1980-2000),
gen Z dari tahun 2000-2010, dan gen Alfa (2010 sampai sekarang)--Kemen PPPA
dalam Profil Generasi Milenial 2018. Guna kita melihat dalam konteks sejarah
ialah agar kita dapat melihat dengan kacamata berbeda.
Kita dapat melihat literasi gen
milenial memburuk sedangkan gen baby
boomer, literasinya cukup baik. Perbedaan ini dapat ditinjau dari
lingkungannya. Di satu sisi, pemaknaan literasi hanya sebagai pemuas nafsu
intelektual, tetapi di era dahulu, literasi dipakai untuk memperjuangkan
sesuatu. Pemateri mengaitkan pada kesempatan diskusi sebelumnya (diskusi: Etos
yang Keropos) yang menyatakan, “mungkin potensi kita sedang dikondisikan bukan
karena kita tidak mau, tetapi lingkungan kita mengkondisikan agar kita tidak
mau.
Moderator mengarahkan ke pertanyaan
tentang pandangan pemateri mengenai literasi Indonesia terkhususnya di
lingkungan kampus. Menurut pemateri, literasi yang bertumbuh di lingkungan
kampus terlebih di era digital menyeret kita untuk tenggelam di dunia maya.
Kendati pun kita sudah banyak literasi, tetapi pemateri memandang melihat
literasi itu hanya memuaskan nafsu intelektual. Belum sampai pada pemahaman
pendahulu kita, bahwa literasi itu merupakan alat untuk memperjuangkan sesuatu.
Literasi cenderung dipakai untuk menyelesasikan tugas-tugas akhir kuliah, hanya
untuk memenuhi IP dan lain sebagainya yang standarnya adalah untuk
mempertahankan dia di dalam perkuliahan.
David Rumahhorbo (Ekonomi
Pembangunan 2017) bertanya apakah literasi dipengaruhi oleh sistem pendidikan
atau peran globalisasi yang ada dan oleh karenanya lingkungan mengurangi
potensi kita berliterasi?
“Iya, karena setiap tatanan yang ada di sistem
pendidikan kita, yang menghasilkan kultur, peradaban kita, fondasinya adalah
sistem perekonomian kita. Ini berkaitan dengan teknis, bukan dengan
pembelajaran. Bagaimana agar murid patuh dan melakukan apa yang diperintahkan
saja. Sayangnya kita terkondisikan demikian. Pada jaman Orba, literasi terhenti
akibat proses NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan), yaitu dijauhkan dari dunia politik, disibukkan dengan
tugas-tugas sehingga apa yang dilakukan mahasiswa pada saat itu hanya sebagai
pekerja teknis dan tidak bisa memikirkan sesuatu apa yang dapat diperjuangkan
generasi terlebih dahulu”, jawab pemateri.
Renaldi Surbakti (Akutansi 2018) kemudian mengemukakan pendapatnya. Di benak publik, literasi dianggap sebagai solusi untuk menghadapi hoax karena literasi berurusan dengan perbaikan akal. Hoax itu dipandang sebagai ketidakwarasan akal dalam hal menggunakan media informasi. Namun, literasi juga perlu dikaji, apakah literasi ini sudah cukup efektif untuk memperbaiki akal atau justru untuk menumpulkan akal?
Pemateri menjawab, “tergantung dengan kondisi masyarakat. Jika masyarakat penuh dengan skeptisme, rasa ragu-ragu, maka itu akan mengaktifkan akal. Tetapi seandainya masyarakat tidak skeptis, ini bahaya karena masyarakat hanya menelan informasi dan kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir elit sehingga dapat menggiring masyarakat ke perspektif tertentu”.
Dandi Dermawan (Akuntansi 2017) menyinggung tanggapan Renaldi mengenai hoax. Hoax konten media dan ruang lingkupnya lebih luas. Seringkali dalam media kita rentan tentang permasalahan ketidaktahuan. Dandi kemudian bertanya bagaimana menurut pemateri mengenai literasi media di Indonesia saat ini dan bagaimana cara memilih media yang netral dan berimbang?
Menanggapi pertanyaan sebelumnya, pemateri menerangkan bahwa mungkin banyak media yang tidak membawa kepentingan umum. Cara yang paling bagus, bagaimana kita menerapkan mana yang dapat kita percayai maupun tidak, ialah dengan memahami kompilasi politik. Pemateri juga menghimbau agar peserta membaca beberapa riset-riset akademis, mempelajari profil-profil penulis, serta mengikuti kompilasi perpolitikan di Indonesia. Jesica Pradipta Alam (Akuntansi 2016) menambahkan di kolom komentar, literasi media haruslah netral tetapi tidak sama dengan independen. Netral artinya tidak berpihak kepada kepentingan publik, artinya ingin menyampaikan kebenaran kepada publik. Pemateri menghimbau agar kita dapat men-tracking media dalam melihat kenetralitasan media.
Witha Susilia Panggabean (Ekonomi Pembangunan 2017) beranggapan bahwa tingkat literasi saat ini bukanlah rendah, tetapi bermetamorfosis, dalam arti tulisan-tulisan, esai, dan sebagainya telah beradaptasi ke arah gambar, blog, komik, dan lainnya dalam bentuk digital. Lalu Witha bertanya apakah literasi yang bermetamorfosis itu adalah suatu literasi yang berkembang?. Pemateri menjelaskan bahwa banyak perspektif mengenai pengertian literasi, hanya saja pengertian ini bergantung pada pemahaman kita.
Witha juga menambahkan bahwa ia tidak sependapat dengan daya ubah literasi yang rendah. Literasi yang berkembang saat ini adalah literasi yang bermetamorfosis, bentuknya bukan lagi buku-buku, tetapi tealah memiliki berbagai bentuk. Pemateri menanggapi bahwa daya ubah yang dimaksud adalah penggunaan literasi itu. Contohnya dimasa lalu literasi merupakan alat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Di masa kini, literasi secara umum lebih mengarah ke individualistik, keuntungan penulis sendiri. Bukan berarti menyamakan dengan orang-orang yang menggunakan literasi untuk kepentingan publik.
Abangda Immanuel Marada Van Siregar (alumni Campus Concern FEB USU) mengemukakan bahwa literasi yang hanya berdasarkan membaca buku teks dan berdiskusi langsung memang mengalami penurunan budaya literasi. Tetapi literasi tidak hanya sebatas itu. Cara berliterasi saat ini sudah berbeda dan malah cukup berkembang seperti baca posting-an, baca berita online, komunikasi lewat online, dan setiap kita menerima informasi dari media apapun itu sudah dikatakan literasi.
Elfri Lidwina Rebeka Ompusunggu (Manajemen 2018) melalui kolom komentar bertanya kepada pemateri tiga buku yang mengubah pandangan hidup pemateri dan dapat dijadikan rekomendasi untuk dibaca. Pemateri menyarankan buku Soe Hok Gie yaitu Catatan Seorang Demonstran yang menurutnya catatan harian penulis sudah seperti jurnal dan buku ini menjelaskan keadaan bahwa generasinya bertumbuh sangat baik, buku Dunia Sophie yang merupakan novel fisafat dan membawa pemateri ke dalam banyak pemikiran, dan buku Paolo Friere berjudul Pendidikan Kaum Tertindas.
Pemateri juga menyarankan buku lainnnya yang dapat dibahas, yaitu buku Mazhab Pendidikan Kritis oleh M. Agus Nuryatno, buku Ideologi Negara oleh Masour Fakih dan William F. O’neil dan buku untuk ekonomi, yaitu buku Asian Godfather karya Joe Studwell mengenai rangkaian siapa penguasa Asia Tenggara, buku Bila Korporasi Menguasai Dunia karya David C. Korten, serta buku Mafia Global karya Antonio Nicaso dan Lee Lamothe mengenai peran dari Amerika.
Moderator kemudian mengalihkan dengan pertanyaan, bagaimana membuat orang-orang tertarik untuk berliterasi bagi mereka yang tidak suka membaca dan bagaimana menerapkan literasi pada saat pandemi ini. Menurut pemateri, mereka harus berada di lingkungan orang yang memiliki daya ubah. Ketika mereka berada di lingkungan itu, mereka akan menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki daya literasi karena daya literasi mereka bertumbuh. Melanjutkan pertanyaan sebelumnya, pemateri menanggapi bahwa banyak hal yang dapat di lakukan dalam masa pandemi ini; menonton film terkhusus yang terkait dengan pandemi ini sehingga kita mendapat referensi atas apa yang terjadi atau menggunakan media sosial untuk berdiskusi dengan teman.
Diakhir diskusi, pemateri memberikan closing statement. Pemateri sebelumnya telah menjelaskan mengapa literasi penting dan menyadari bahwa adanya ketidakselarasan dengan peserta. Literasi akan menjadi penting ketika kita mengganggap itu penting.Bagi kita yang malas membaca, mungkin kita menganggap literasi itu tidak penting. Serta moderator menyarankan untuk memulai literasi dengan membaca koran.
Kemudian mengembangkan budaya literasi di kampus dapat dilakukan melalui berbagai wadah/komunitas seperti membuat pustaka berjalan, mengaktifkan kembali diskusi yang dapat menghidupkan kembali literasi di kampus. Terkait literasi versus generasi milenial, pemateri menyarankan agar kita belajar dari generasi lama dimana mereka mampu menciptakan dan membaca buku, kendati senjata (perang) ada di depan mata mereka.
Diskusi pun ditutup dengan doa penutup yang diarahkan moderator. Adapun sasaran kuantitas yang diharapkan adalah 41 AKK, dan yang hadir sebanyak 32 peserta (28 AKK dan 4 non-AKK) sehingga hasil yang diharapkan secara kuantitas tidak tercapai, namun secara kualitas terapai. Divisi Diskusi Campus Concern FEB berharap semakin banyak peserta diskusi yang dan berpartisipasi pada diskusi CC selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar