Mimpi yang Sempurna dalam Rumah Kedua

Saat mata mulai terbuka dan tanpa disadari, usia dewasa menanti di depan mata. Segala
harapan, cita-cita, dan mimpi seolah tinggal selangkah di depan mata. Hanya perlu siap dan
percaya dalam setiap proses di rumah kedua. Rumah kedua yang memberi harapan dan
keyakinan biasa kusebut dengan kampus. Sebuah tempat menjalani pendidikan dan memiliki
pengaruh bagi kesuksesan. Rumah itu menyadarkan bahwa setiap pemuda memiliki kemampuan yang berbeda. Setiap orang mampu memberi yang terbaik melalui perbedaan tersebut.
Aku ingin menjadi mahasiswa. Itu sebutan bagi kaum yang memiliki intelektual yang
tinggi. Mereka bahkan mampu menciptakan kebijakan baru demi kesejahteraan bangsa.
Mahasiswa merupakan sebuah status yang menggetarkan pundak. Itulah mimpi untuk rumah
kedua dan status yang diterima. Kaki mulai melangkah dalam kepastian dan senyuman bangga.
Setiap mata yang melihat pasti sadar akan kebanggaan itu. Kesungguhan sebagai mahasiswa
sangat terlihat, wajah bahagia pun tidak dapat ditutupi.
Hari berganti dan tanpa disadari rumah kedua itu semakin berbeda. Status mahasiswa
yang disandang terasa sangat berat dan justru menjadi beban. Aku menemukan fakta itu dan ada rasa sakit yang menggores mimpi. Rumah kedua itu dihuni oleh mereka yang menilai
penampilanku dan cara berpikirku. Aku menemukan bahwa kesendirian lebih baik daripada
berada di keramaian. Dalam kesendirian aku bisa menjadi diriku sendiri, tidak harus dibebankan aturan kelompok dan komunitas yang mengikat. Dalam keramaian, setiap orang menjaga reputasinya dengan sangat hati-hati. Tidak ingin terlihat bodoh dan ketinggalan zaman.
Gugup dan rendah diri pasti dirasakan, apalagi saat kita semakin menyadari batas diri
masing-masing. Persaingan mode juga terjadi, dan sangat sulit untuk menjadi diri sendiri.
Kehidupan mewah membuat beberapa diantara mahasiswa mati gaya. Selain itu, seorang
professor akan lebih sering memberi harapan palsu. Keluarga baru di rumah kedua pun bisa
menjadi pengkhianat. Angka yang muncul di akhir semester menentukan semangat di semester
berikutnya. Demi angka yang sempurna kejujuran pun dijual tanpa harga.
Kehadiran di kelas yang menyebabkan mata tersiksa dan hati bersumpah menjadi
fenomena yang biasa. Bahkan mereka rela menjadi mayat hidup yang berintelektual demi sebuah huruf. Mata justru merasa bahagia dan hati terasa damai sejahtera saat berada di luar kelas.
Berada di rumah kedua tidak seindah yang dibayangkan. Status sebagai mahasiswa tidak lagi
membanggakan saat menjalani hari-hari di rumah kedua. Perasaan ragu mulai muncul dan rasa ingin  mundur semakin kuat. Seolah mimpi di rumah kedua dan status sebgaai mahasiswa tidak memiliki arti apa apa. Kumpulan orang-orang intelektual tidak lagi menjadi pencipta, tapi menjadi penjiplak. Harapan sirna dan semangat semakin pudar.
Aku mencari fakta apa yang ada dibalik semua kondisi ini. Setidaknya aku menemukan
fakta baik dari setiap kesalahan ini. Percaya diri merupakan kunci kesuksesan dan berani
memperjuangkan apa yang kamu yakini. Percaya bahwa kegagalan dan penolakan adalah bagian dari proses di rumah kedua. Tetap menjadi diri sendiri demi memberi yang terbaik untuk mendapatkan mimpi yang sempurna. Sebuah mimpi yang sempurna di rumah kedua akan disebut sempurna ketika harapan itu tak pudar, menjadi nyata di tengah segala keraguan.
                                                                

                                                   Rani Eranica Sembiring (Eko.Pembangunan 2012)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAHASISWA KRISTEN: AGEN ATAU KONSUMEN??? (Ditulis oleh ESRA SHINTIA D. PANGARIBUAN)

Resume Diskusi: Visi dan Misi USU

Kajian: Lulus Kuliah Sudah Tau Mau Kemana?