SARASEHAN : Budgeting Skills & Investment Strategy : "Seni Pengelolaan Keuangan Pribadi"
SARASEHAN
Budgeting
Skills & Investment Strategy
: Seni Pengelolaan Keuangan Pribadi
Sarasehan
luring yang bertajuk “Budgeting Skills & Investment Stategy:
Seni Pengelolaan Keuangan Pribadi” merupakan kegiatan diskusi yang dilaksanakan
oleh Campus Concern FEB USU di Semester A tahun 2024. Adapun yang menjadi
sasaran kualitas dari kegiatan diskusi ini adalah agar peserta diskusi (AKK)
semakin dibukakan wawasannya mengenai cara untuk mengelola keuangan pribadi
mulai dari penyusunan anggaran, menabung, serta berinvestasi, dan sasaran
berikutnya ialah agar peserta diskusi (AKK) semakin termotivasi untuk mengelola
keuangannya dengan lebih bijak sedari mahasiswa.
Sarasehan
ini dilakukan pada hari Selasa, 28 Mei 2024 pukul 13.00 WIB di ruang
International Smart Classroom 03, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Sumatera Utara. Adapun jumlah peserta diskusi (AKK) yang hadir dalam sarasehan
ini adalah sebanyak 19 orang. Pemateri dari sarasehan ini adalah Bapak Dr.
Handy Octavianus, S.T., MMPP, MAPPI (Cert.) (Dosen Praktisi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Sumatera Utara), dan dimoderatori oleh Nely Desiliany
Hutabarat (Ekonomi Pembangunan 2021). Sarasehan diawali dengan perkenalan diri
oleh moderator, lalu dilanjutkan oleh ibadah singkat dan doa pembuka yang
dibawakan oleh moderator. Selanjutnya, moderator mempersilahkan pemateri untuk
dapat memberikan pemaparan mengenai topik bahasan ini.
Mulanya,
pemateri membahas mengenai pentingnya Personal Finance (Keuangan Pribadi)
mahasiswa yang walaupun hal ini umumnya dikatakan sederhana, tetapi belum bisa
sepenuhnya diterapkan dalam diri seseorang, dan tentunya pengelolaan keuangan
pribadi berbeda dengan manajemen keuangan perusahaan. Pemateri mengawalinya
dengan mengangkat kisah Ronald Read (1921-2015), seorang mantan petugas SPBU
dan tukang sapu, tetapi meninggalkan warisan kekayaan senilai hampir $8 juta
ketika ia meninggal. Beliau memperoleh keberhasilan finansial yang disebabkan
karena beberapa faktor, seperti kesabaran yang luar biasa, gaya hidup yang
sangat hemat, dan cerdas berinvestasi di saham.
Melihat
gaya hidup Ronald Read yang hemat tersebut, pemateri mengajak peserta diskusi
untuk memiliki persepsi yang benar mengenai perbedaan istilah “rich” dan
“wealth”. “Rich” atau sering dikatakan dengan “orang kaya” adalah
orang yang memiliki banyak uang, banyak harta benda, dan memiliki penghasilan
tinggi, sehingga “rich” diukur dari apa yang mereka keluarkan/belanjakan.
Tetapi sayang, orang kaya belum tentu memiliki kekayaan (wealth). “Wealth”
atau orang yang memiliki kekayaan mengacu pada orang yang memiliki banyak
tabungan atau simpanan, dengan kata lain orang yang memiliki kekayaan terlihat
dari apa yang mereka tabung, bukan apa yang mereka belanjakan. Maka “MENABUNG”
itu merupakan hal yang sangat penting dalam membangun kemapanan, tidak ada cara
lain.
Terkait
dengan hal tersebut, pemateri mengutip suatu pernyataan dari Morgan Housel
bahwa “mengelola uang dengan baik tidak berhubungan dengan kecerdasan, namun
lebih banyak berhubungan dengan perilaku (behavioral) seseorang”. Ini
berarti bahwa keberhasilan finansial itu tergantung pada perilaku, dan tidak
ada korelasinya dengan kecerdasan seseorang. Maka menurut teori perilaku
keuangan (behavioral finance theory), orang yang mempunyai perilaku yang
benar, itulah yang mencapai keberhasilan keuangan. Memang benar bahwa agar
seseorang mendapatkan uang (melalui pekerjaannya), perlu skill/kompetensi
dan inteligensi. Tetapi, untuk tetap menjaga uang/kekayaan berada dalam kantong
perbendaharaan seseorang, butuh perilaku (behavior) yang benar. Oleh
karena itu, umumnya seseorang cenderung kesulitan dalam mengelola uang daripada
mendapatkan uang, karena dalam mengelola uang dibutuhkan self-control
(penguasaan diri).
Pemateri
kemudian memaparkan suatu fenomena flexing yang sering terjadi di
kalangan masyarakat akhir-akhir ini. Ia menekankan bahwa umumnya banyak orang
kaya (rich) cenderung ingin membelanjakan uang untuk barang-barang prestisius
demi mengesankan orang lain walaupun sebenarnya mereka tidak memerlukan barang
tersebut (level mereka belum sampai untuk membeli barang prestisius tersebut). Perilaku
flexing inilah yang merupakan sumber kehancuran anak-anak muda, karena
kenyataannya setiap orang hanya peduli dengan dirinya sendiri dan tidak
memerdulikan orang lain yang memamerkan harta kepunyaannya. Jadi, dari sinilah,
orang kaya (rich) cenderung berbeda dengan orang yang mempunyai kekayaan
(wealth). Membangun kekayaan tidak banyak berhubungan dengan pendapatan
atau hasil investasi, namun lebih banyak berhubungan dengan tingkat tabungan.
Pemateri
menghimbau peserta diskusi (mahasiswa AKK) agar memiliki behavior yang
baik dengan lebih bijak dalam membelanjakan uangnya sesuai value/apa yang
memang dibutuhkannya. Di usia 20 tahunan, mahasiswa belum mempunyai kebutuhan
tersier, dan masih hidup sewajarnya. Oleh karena itu, mahasiswa sudah cukup
untuk membeli barang-barang yang sesuai kebutuhannya, bukan membeli barang prestisius
demi mengesankan orang lain supaya terlihat kaya. Mahasiswa dihimbau untuk
belajar hidup sesuai kebutuhan, agar mereka memperoleh kebijaksanaan.
Bagaimana
cara mahasiswa atau anak muda yang berusia 20 tahun dalam mengelola keuangan
pribadinya agar mencukupi kebutuhan hidupnya? Hal ini akan dijawab dengan
asumsi bahwa mahasiswa atau anak muda berusia 20 tahunan berada dalam kondisi
keuangan yang sederhana/terbatas.
1. Diawali
dari menerima earning (pendapatan). Mahasiswa dapat memperoleh
pendapatan dari orang tua, gaji, komisi, dagang, bisa juga dari investasi
sebelumnya, warisan, dsb. Lalu, dari pendapatan tersebut, ada yang ditabung/disimpan
(saving) dan ada yang dibelanjakan (spending).
2. Spending
(pembelanjaan). Hasil riset pemateri sering
menemukan bahwa umumnya, rasio budgeting (penganggaran) adalah 50:30:20.
Artinya ialah, dari 100% pendapatan/earning: 50% untuk kebutuhan/biaya hidup
(kebutuhan pokok yang meliputi pangan, sandang, papan), 30% dibelanjakan untuk keinginan/hobi/rekreasi
dan 30% harus/wajib disimpan (saving). Proporsi rasio ini memang berbeda-beda dan
disesuaikan setiap orang, tetapi 20% itu memang diwajibkan untuk ditabung.
Disinilah terdapat seni pengelolaan keuangan.
3. Saving
(tabungan/simpanan). Dalam menyimpan 20%
pendapatan, muncul pertanyaan yakni “saving for saving or saving for
something?”. Orang yang menabung dengan tujuan untuk saving for saving
(menabung untuk menabung), ia sadar bahwa di dunia ini penuh dengan
ketidakpastian (uncertainty), sehingga ia memiliki simpanan yang dapat
digunakan kapan saja dibutuhkan. Hal ini memberikan rasa aman finansial karena
memiliki cadangan darurat yang bisa digunakan untuk kebutuhan tak terduga di
masa depan. Sedangkan, orang yag
menabung dengan tujuan saving for something (menabung untuk sesuatu),
berarti orang tersebut menabung dengan tujuan spesifik yang ingin dicapai di
masa depan, seperti menabung untuk membeli handphone, dsb. Hal ini ia
lakukan dengan asumsi bahwa dunia ini penuh kepastian.
4. Investment
(investasi). Apabila hasil tabungan sebesar 20%
terus menerus dikumpulkan (di-compound) hingga beberapa tahun, mahasiswa
sudah bisa diperbolehkan untuk berinvestasi, agar uangnya mengalami pertumbuhan. Jangan investasikan uang selain
menggunakan uang dari yang disimpan 20%
tersebut, agar tidak terlalu merasakan dampak akibat kerugian yang bisa saja
timbul. Untuk usia 20 tahunan, tidak masalah apabila seorang mahasiswa belum
mampu untuk mengambil investasi yang memiliki return besar (high return)
dengan profil risiko yang tinggi (high risk). Semua tahapan usia
memiliki prosesnya dalam mengelola keuangan. Setiap investor memiliki perilaku,
karakter, kendali diri, dan ego yang berbeda-beda tentunya. Dianjurkan bagi
usia 20 tahunan untuk berinvestasi dalam instrumen yang bersifat likuid.
Adapun
beberapa rekomendasi investasi untuk usia muda ialah:
·
Emas. Emas (batangan)
dianggap stabil karena nilainya cenderung tahan terhadap fluktuasi ekonomi
seperti inflasi dan resesi. Meskipun emas tidak menghasilkan pendapatan (yield),
tetapi nilai emas tidak mengalami penurunan, dan tidak tergerus oleh inflasi.
·
Saham. Berinvestiasi
dalam saham akan memperoleh yield berupa dividen (keuntungan bersih)
serta capital gain (keuntungan dari perbedaan harga beli dan harga jual
suatu saham) Bagi pemula, disarankan untuk memulai dengan membeli saham secara
bertahap, terutama jika belum memahami seluk-beluk perusahaan. Salah satu
pilihan yang aman adalah membeli saham perusahaan unggulan/blue chip. Perusahaan-perusahaan
ini memiliki dukungan dari pemerintah dan sahamnya dikenal kuat (overvalue),
sehingga risiko bangkrut lebih rendah.
·
Investasi di bidang
properti kurang dianjurkan, karena tidak likuid (tidak dapat cepat
dijual/dicairkan seperti saham, dan butuh jangka waktu lama).
Jika
seseorang memperoleh bonus/uang tak terduga dari investasinya, maka dari 100%
bonus tersebut, dapat di-reinvestment dengan cara 70% dapat ditabung, dan 30% dapat digunakan untuk memenuhi
keinginan hidup.
5. Mengenai
utang (debt). Utang bagi individu berbeda dengan utang produktif (leverage)
untuk mengungkit operasional perusahaan. Utang dalam konteks pribadi seringkali
digunakan untuk hal konsumtif (spending) dan ini dapat menjadi
malapetaka apabila tidak kunjung dibayarkan. Pemateri menyoroti fenomena
mahasiswa yang terjerat dalam pinjaman online (pinjol) dan sangat-sangat
memberi peringatan kepada seluruh peserta untuk tidak berutang, karena “utang
membuat manusia bersedih di malam hari dan hina di siang hari”. Mahasiswa
dihimbau untuk tidak mempunyai kebutuhan di luar batas kewajarannya agar tidak
terikat pada berbagai pinjaman, dan apabila tidak dapat dibayarkan maka akan
memunculkan masalah yang lebih besar lagi hingga merusak nama baiknya.
6. Financial
Freedom. Kriteria seseorang mempunyai
keberhasilan/kebebasan finansial adalah apabila ia tidak mempunyai utang.
Tujuan akhir mahasiswa dalam mengelola keuangannya ialah financial freedom
ini, yakni agar mahasiswa mempunyai kendali atas waktu.
Setelah
materi selesai dipaparkan, maka pemateri menyampaikan beberapa poin kesimpulan,
lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Pertanyaan
pertama diajukan oleh Adriel, yaitu “Bagaimana cara menyesuaikan
proporsi budgeting 50:30:20 antara mahasiswa yang tinggal di kos dan mahasiswa
yang tinggal bersama orang tua, mengingat tentu saja proporsinya akan berbeda?”
“Untuk proporsi tersebut, 50% dan 30% dapat diubah-ubah sesuai dengan situasi
dan kondisi masing-masing mahasiswa, asalkan yang 20% nya tidak boleh diganggu
gugat karena memang itu khusus untuk saving (ditabung). Untuk mahasiswa yang
tinggal di kos dengan yang tinggal dengan orang tua, tentu proporsinya berbeda,
dan itu disesuaikan lagi dengan individunya masing-masing. Umumnya, mahasiswa
yang tidak membayar uang kos dapat meningkatkan keinginannya sambil menurunkan
kebutuhannya. Untuk yang sudah berkeluarga, mereka cenderung lebih meningkatkan
kebutuhannya, dan sangat meminimalisir keinginannya. Untuk mahasiswa yang
pendapatannya masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkuliahan,
tidak perlu dipaksakan untuk menabung, tetapi kalau bisa setidaknya ada yang
ditabung. Ingat bahwa tugas utama mahasiswa saat ini adalah untuk menamatkan
kuliahnya terlebih dahulu.” jawab pembicara.
Pertanyaan
kedua diajukan oleh Riama, yaitu “Jika saya memperoleh pendapatan,
lalu disimpan, dan saya investasikan ke reksadana, hal ini bagaimana?” “Untuk
menjaawab pertanyaan ini, perlu asumsi dimana usia 20 tahun banyak
asumsi-asumsi tidak terduga. Oleh karena itu, kumpulkan (compound) dulu seluruh
pendapatan tersebut. Apabila kita sudah yakin dalam menginvestasikan dana kita
ke dalam reksanana, kenapa tidak. Tabungan itu diibaratkan peredam kejut pada
mobil. Kita melakukan saving supaya aman, karena di dalam kehidupan ini banyak
ketidakpastian. Kalau seseorang ingin menabung saja, tetapi belum siap untuk berinvestasi, boleh saja,
karena kita berinvestasi agar uang kita mengalami pertumbuhan/gain. Carilah
investasi yang aman untuk usia muda saat ini.” jawab pembicara.
Pertanyaan
ketiga diajukan oleh Novi, yaitu “Apa tanggapan yang tepat mengenai
investasi leher ke atas?” “Perihal investasi leher ke atas ini sebenarnya tidak
terkait dengan investasi dalam konteks keuangan, tetapi hal ini terkait dengan
bagaimana cara seseorang mendapatkan uang dimana mereka memerlukan
skill/kompetensi, dan inteligensi yang baik, sehingga dari hal inilah muncul
istilah investasi leher ke atas atau investasi skill. Untuk mendapatkan uang,
seseorang membutuhkan berbagai kompetensi seperti belajar, kuliah, mengikuti
kursus, untuk memenuhi syarat dalam memperoleh uang melalui pekerjaannya. Tetapi,
karena pembahasan saat ini lebih berfokus pada bagaimana mengelola keuangan,
ini tidak ada kaitannya dengan kompetensi, melainkan perilaku seseorang. Ketika
sudah bekerja, pikirkan mengenai ‘what you get (apa yang kamu dapatkan)’ dan
‘what you become (kamu mau bertindak menjadi apa)’. Harapannya, kita akan bijak
dalam pengelolaan keuangan, terutama dalam hal membelanjakan pendapatan yang
kita peroleh.” jawab pembicara.
Sebagai
closing statement, pembicara menyampaikan dan menghimbau kembali untuk
tidak berutang. Tidak terlibat dalam utang sudah cukup untuk menjalani
kehidupan yang tentram. Orang yang merdeka finansial adalah mereka yang bebas
dari utang. Belum waktunya seorang mahasiswa untuk berutang. Jadi, gunakanlah
uang yang ada untuk disimpan dan belanjakanlah itu untuk kebutuhan, bukan
hasrat keinginan prestisius semata.
Kegiatan
ini pun berakhir dan ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada pembicara oleh
ketua Campus Concern 2024, lalu doa penutup dan dokumentasi.
Komentar
Posting Komentar